Facebook Twitter Google RSS
Showing posts with label CERITALAMA. Show all posts
Showing posts with label CERITALAMA. Show all posts

Monday, 28 December 2009

Pengungsi yang (Diperintahkan) Tutup Mulut

Unknown     01:09  
Pagi itu, Kamis, 6 Januari 2005. Baru jam 11.00 WIB saat satu mobil yang bertuliskan "PERS" datang dari arah Lhokseumawe tujuan Banda Aceh.

Sampai di Jeunib, Bireuen, mobil merambat pelan sambil menghidupkan lampu samping pertanda hendak berhenti. Ban membelok ke pinggir jalan, tepatnya di depan Meunasah Jeunib.

Di situlah terdapat sebuah lokasi pengungsian. Melihat ada wartawan datang, di sebuah tenda tengah dilakukan sebuah taklimat (pengarahan).

"TNI melarang warga untuk mendekati dan berbicara dengan wartawan, alasannya kehadiran wartawan tidak ada untungnya," ungkap seorang warga menirukan si pemberi taklimat. Tapi para wartawan itu tak merasa apa-apa.

 Salah seorang dengan kamera foto turun dari mobil dan masuk ke gerbang meunasah yang disambut senyum warga di sana, sambil sedikit mengangguk pertanda "silahkan". Ada juga beberapa personel TNI yang bertugas jaga di sana. Tapi mereka tetap memasang muka ramah ke arah wartawan dan bahkan berjabat tangan.

Beberapa wartawan itu sempat juga berbicara beberapa kata dengan tentara itu sebelum akhirnya mereka melangkah menyesuri tenda. Sebagian besar pengungsi mengumbar senyum, tetapi tidak berani mendekat, apalagi berbicara.

Sesuatu yang agak ganjil dalam dua pekan belakangan. Biasanya, wartawan justru menjadi tempat menumpahkan keluh kesah tentang segala pelayanan yang mereka terima di lokasi pengungsian atau bahkan menanyakan sanak saudara, keadaan kampung, bahkan meminjam handphone. Tapi kali ini lain. Seperti tak hirau, para wartawan menjepretkan kameranya.

Dan seperti tak hirau pula, aparat pun terkesan tidak peduli. Setiap kali beradu pandang, mereka tetap memasang senyum. Tapi tak lama kemudian, bila dilirik dengan ekor mata, senyum itu hilang secepat hembusan nafas.

Jepretan kesekian kalinya ditujukan kepada seorang wanita yang sedang duduk termangu, kemudian ke arah beberapa orang yang duduk berkelompok sambil bercerita sesamanya. Si tentara terus memperhatikan tingkah si wartawan, yang sedang berputar mencari gambar.

Ada relawan mahasiswa di sana, yang kabarnya sudah sejak hari Minggu (26/12), setelah mereka selesai mengevakuasi jenazah warga Samalanga yang diterpa tsunami. Mula-mula tak ada tentara di lokasi itu. Para mahasiswalah yang tinggal dan membantu pengungsi sebisanya.

Namun sejak Rabu (29/12), sejumlah personel TNI datang dan membentangkan spanduk asal kesatuan dan mengumumkan bahwa di sana ada posko bantuan milik TNI. Spanduk milik mahasiswa yang semula terlihat di gerbang meunasah itu, kini raib.

 "Spanduk itu ditukar dan digantikan spanduk abang," kata seorang mahasiswa berusaha menyapa akrab pasukan TNI itu. Semua peraturan di kamp itu pun dirombak total. Begitu juga dengan bantuan yang kini harus melalui mereka.

Semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang berani membantah. Apalagi, setelah wartawan datang, peraturan bertambah satu, yaitu melarang warga berbicara kepada wartawan. Nasib sial dialami Kek Kaoy yang sudah terlihat tua dan lemah dengan pendengaran yang sedikit terganggu.

Kain sarung yang dipakainya sudah naik sedikit ke atas dan tidak rata antara muka dan belakang. Begitu juga dengan baju kemeja bantuan yang tampak kusut dan terlipat di sana-sini. Dari sudut sebuah tenda ia bangun dengan sedikit gontai, hendak menuju ke samping wartawan yang sedang berdiri mencari informasi, jenis bantuan apa yang masih mereka butuhkan di kamp Meunasah Jeunib itu.

Saat itu, wartawan sedang menanyai Ibu Darmi. Saat itulah Kek Kaoy berusaha mendekat. Tapi langkahnya terhenti. Kening putihnya mengerut dan kakinya mundur ke belakang sebelum akhirnya duduk kembali sambil menunduk.

Seorang personel TNI samar-samar terdengar setengah membentak. "Masuk ke sana, kau!" Setelah insiden itu, Helmi (nama samaran) menerangkan bahwa Kek Kaoy sebenarnya tidak mendengar adanya larangan untuk berbicara kepada wartawan. "Mungkin orang tua itu tidak lagi jelas pendengarannya. Ya gara-gara itu, Kek Kaoy dibentak dan mau ditendang," terangnya.

Helmi sendiri juga mengaku mulai curiga dengan pembatasan terhadap wartawan di kamp pengungsiannya. Apalagi di tempat lain, tidak ada pembatasan seperti ini. Di kamp meunasah Jeunib saat ini ada sekitar 1.120 jiwa yang ditampung.

Mereka adalah warga Pandrah yang mengungsi ke Jeunib. Dengan semua keganjilan ini, tentu saja para wartawan itu saling menggerutu. "Sementara tentara negara asing sekarang membawa seluruh peralatan untuk bisa membuka akses Meulaboh dan sekitarnya, tentara kita masih sibuk melarang-larang wartawan," sungut seorang wartawan. | Reporter: Misrie - Bireuen

Sunday, 27 December 2009

Korban Banjir Aceh Tamiang Belum Tertolong

Unknown     23:55  
Nasional Korban Banjir Aceh Tamiang Belum Tertolong 

Kamis, 20 Januari 2005 | 20:26 WIB 

TEMPO Interaktif, Lhokseumawe: Banjir yang melanda Aceh Tamiang selama 10 hari terakhir, hingga Kamis (20/1) ini masih menggenangi jalur transportasi Medan-Banda Aceh. Akibatnya, ratusan truk pengantar bantuan untuk korban tsunami ke Aceh dan bus penumpang terjebak di beberapa tempat. 

 Banjir yang berlangsung sejak Rabu (12/1) lalu itu juga menyebabkan rumah warga yang berada di sekeliling jalan tembus Medan - Banda Aceh tergenang air. Kondisi ini memaksa 40.000 warga di kawasan itu mengungsi ketempat yang lebih tinggi dan membuat tenda darurat. Dari pemantauan Tempo, terdapat delapan kecamatan yang tergenang banjir di Kabupaten Aceh Tamiang (hasil pemekaran Aceh Timur). 

Yakni kecamatan Kejuruan Muda, Tamiang Hulu, Karang Baru, Rantoe, Seruway, Bendahara dan Kuala Simpang. Sedangkan yang lolos dari banjir adalah Kecamatan Manyak Payet. Pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang, H. Ishak Juned mengatakan pihaknya sudah melakukan tindakan darurat untuk korban banjir yang mengungsi ketempat yang lebih aman. 

Namun hasil penelusuran Tempio di sejumlah titik banjir, di sepanjang jalan lintas Medan-Banda Aceh, tidak terlihat aparat maupun tim penanggulanggulangan bencana berada di lokasi tersebut. Begitu juga tidak terlihat bantuan alternatif untuk mengevakuasi para korban banjir. ?

Kami sekarang mana ada yang peduli, sudah 10 hari tidak satupun mereka yang datang menjenguk kami, di jalan juga mereka tidak melakukan tindakan apa-apa. Lihatlah warga sangat susah, maunya kan bisa mengerahkan alat berat yang bisa melewati air dan membantu warga, sementara besok Lebaran Idul Adha Imran MA | Tempo

Saturday, 15 September 2007

Kilas Gampoeng : Suara Mereka Yang Berharap Damai

Unknown     04:34  
Reporter: Misrie - Aceh Utara

Nasir berharap perundingan Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Aceh. Dia tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung, tanpa razia,” kata bapak enam anak ini.

Basyir, sebut saja begitu nama pria berumut 47 tahun itu. kulitnya hitam legam, pertanda ia memang sering dibakar terik sinar surya. Sambil duduk di atas becak mesin jenis KW, ia sigap melihat ke kiri dan kanan, mencari penumpang. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya berpeluh. “Baru 15.000 saya dapat hari ini.

Sulit cari penumpang sekarang, karena kebanyakan becak,” kata Basyir kepada acehkita, Selasa (12/4). Sudah delapan tahun terakhir ini, Basyir bergelut dengan becak mesin. Sebelumnya, pria ini sudah melanglang buana untuk mencari peruntungan yang lebih baik, di beberapa kota di nusantara.

Namun, daerah tetap saja ia tergoda untuk kembali ke tanah kelahirannya. Padahal, di tanah kelahirannya, ia pernah menelan pil pahit konflik berkepanjangan. Ia kemudian memulai kisah kepahitan yang dituai. Pada tahun 1990, ia ditangkap dan disiksa dengan tuduhan membantu anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebuah label yang diberikan pemerintah kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Tiap malam mereka mengancam akan mencabut kuku saya,” katanya, mengenang. Tujuannya, untuk membuat supaya Basyir memberi pengakuan bahwa dia terlibat GAM. “Saya bukan GAM. Waktu itu yang warga Aceh semua bisa dituduh GAM,” terangnya. Setelah tak mendapat pengakuannya, Basyir dilepas.

Basyir hidup pas-pasan. Sebagai penarik becak, dia tidak punya banyak penghasilan, layaknya pegawai negeri dan pengusaha. Di usianya sekarang, dia masih mengontrak rumah. Konflik berkepanjangan di Bumi Seulanga menambah daftar panjang kesusahannya dalam mencari rezeki. Ia senang ketika kabar dialog antara GAM dan RI sampai ke telinganya.

“Ini kan udah dialog lagi,” katanya kepada acehkita, sambil bangkit dari becaknya. Namun, dia risau dengan pengalaman perundingan yang sudah pernah berlangsung, namun kandas di tengah jalan. “Dialog kemarin gagal, akhirnya pemerintah menanggapi dengan pemberian darurat militer. Namun, kalau dialog kali ini gagal, gimana?” risau Basyir.

Dia berharap perundingan di Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dia pun tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung,” kata bapak enam anak ini.

“Sekarang kalau mau berkunjung banyak sekali masalah sweeping lah atau apa. Pokoknya serba tidak aman.” Basyir terus bercerita tentang kondisi daerahnya yang tidak terlalu kondusif.

Beberapa calon penumpang yang lalu lalang di depannya, dibiarkan saja. Menurutnya, kondisi masyarakat di pedalaman Aceh sangat tidak bersahabat. “Dialog memang harapan masyarakat. Tapi sepertinya dialog tidak ada ujungnya,” katanya. Harapan untuk segera hidup dalam damai juga disuarakan Ismail (40).

Nelayan asal Aceh Utara ini sangat berharap dialog di Helsinki bisa membawa angin segar ke Aceh. Karenanya, dia berharap baik pemerintah Indonesia dan GAM, tidak ngotot pada tuntutannya masing-masing. Ismail yang mengaku selalu mengikuti perkembangan dialog damai, mengatakan ada kesan pemerintah tetap ngotot dalam menawarkan otonomi khusus bagi GAM. Nah, kata dia, jika GAM menerima otsus, harus dipertanyakan khusus yang bagaimana.

“Bukankah sekarang sudah otonomi khusus?” tanyanya, “tapi tidak membawa perubahan apa-apa.” “Seperti kami nelayan, tidak ada untung apa-apa. Kesejahteraan bagi kami tidak ada. Bantuan untuk korban tsunami aja bisa ditilep, apalagi bantuan yang lain,” sergahnya. Lalu, apa harapannya?

“Saya tidak tahu harus mengharapkan apa sekarang, Dik,” katanya. Angin laut terus berhembus, juban (alat menjahit jaring) yang dipegangnya tak henti merangkai jejaring yang ada di depannya.

Beberapa nelayan yang ada tak jauh dari Ismail, terlihat sedang membersihkan boat dan melakukan perbaikan pukat untuk kembali berlayar. Pria berkumis tipis ini kembali bicara.

 “Tetapi agak enak sekarang tidak ada lagi suara senjata. Jika dulu kalau ada suara senjata di sekitar sini kami tidak bisa melaut,” katanya. Sementara itu, seorang pegawai negeri sipil di Lhokseumawe, Jamal, mengatakan kondisi di daerahnya saat ini sudah aman. “Sekarang sudah bisa keluar malam,” kata Jamal.

“Kalau otonomi khusus, gaji pegawai ditambah.” Zulhan, salah seorang mahasiswa semester akhir salah satu universitas di Lhokseumawe, menyambut baik dialog damai ini. Dia juga meminta para pihak yang bertikai untuk menghentikan segala kekerasan di lapangan. “Ini dialog jalan terus, warga tak hentinya ditangkap,” kata dia.

Dia juga memandang aneh, kendati Jakarta setuju berdialog dengan GAM, namun tak kunjung mencabut status darurat sipil di Bumi Seulanga itu. “Maunya itu (darurat sipil) dicabut dulu, baru dialog,” tambahnya.

Dia juga memandang, jika perundingan gagal dan pemerintah memaksakan penerapan otonomi khusus, “tidak juga selesai,” kata mahasiswa ini menambahkan. Jadi? [dzie]

Kronologis Pencarian Senjata Hilang Di Kecamatan Makmur

Unknown     02:50  
Bagaimana Kita Shalat, Tni Suruh Cari Senjata Hilang ?

Warga beberapa desa di Kecamatan Makmur masih saja menderita. Belum usai penderitaan yang mereka alami, kendati aparat dari Polisi Militer Bireuen, sudah dua kali datang ke desa-desa tersebut. Penderitaan warga empat desa itu berupa pengasaran dan penganiayaan yang dilakukan aparat dari pos 406 Candra Kusuma.

Personil TNI ini, memerintah warga untuk mencari senjata TNI yang hilang, setelah Kopda Sumadi, tewas ditembak di Desa Blang Pandak atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cot Leupe Desa Pandak, Kec. Makmur, Bireuen. 

Selain Sumadi, Sersan Indrianto juga mengalami luka tembak dan berhasil melarikan diri melalui persawahan penduduk. Diduga, Sumadi dan Indrianto ditembak anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Sabtu (4/9) lalu.

Senin (13/9), sekitar pukul 17.00 WIB, beberapa personil Polisi Militer datang ke empat desa yang warganya dianiaya pasukan 406 Candra Kusuma. Selain mengunjungi pos 406 Candra Kusuma, Polisi Militer itu juga mendatangi Komandan Kompi (Danki) kesatuan 406 Candra Kusuma di Desa Paloh Kunyet Kecamatan Gandapura.

Namun, tidak diketahui apa misi kedatangan aparat POM itu. Tapi, setidaknya kedatangan POM ke desa itu, sedikit memberi harapan bagi masyarakat, yang sejak Sabtu (4/9) lalu. Setelah kejadian pemberondongan terhadap dua TNI itu, warga Desa Blang Pandak dikumpulkan ke Desa Ulee Gle.

Warga dibariskan dan dipukuli secara bergiliran. Mereka juga menanyakan keberadaan geusyik. Namun, karena sang kepala desa yang juga berprofesi sebagai pedagang, tidak berada di lokasi pengumpulan warga itu. 
 
Hanya terlihat seorang Sekretaris Desa, sebut saja namanya Rashid. Semua warga yang dikumpulkan di sore hari itu, dipukul aparat. Pemilik motor yang dipakai Kopral Sumadi dan Sersan Indrianto pada saat berpergian itu, juga menjadi sasaran amukan pasukan pemerintah. Setelah dipukuli, semua KTP warga dicabut.

Bukan hanya Desa Blang Pandak saja yang menjadi sasaran amukan pasukan pemerintah itu. Jauh sekitar tiga kilometer dari Desa Blang Pandak, semua warga Desa Batee Dabai juga dikumpulkan di Pos Desa Batee Dalam. 
Di sini, ceritanya berbeda dengan lakonan di Desa Blang Pandak. Selain menerima pukulan dan diperintahkan mencari senjata TNI yang hilang, kepada warga desa aparat TNI juga menanyakan siapa saja keluarga GAM.

Tidak ada yang memberikan jawaban. Semua diam membisu. Pasukan TNI kembali menanyakan pertanyaan serupa. Rudi, sebut saja namanya begitu, berbisik kepada warga, yang meminta supaya warga menjawab dia sebagai keluarga GAM.

"Bilang saja, saya keluarga GAM," pinta Rudy kepada warga, seperti ditirukan oleh seorang warga kepada acehkita. Namun, masih saja tidak ada warga yang menjawab. Masih membisu! Pertanyaan untuk ketiga kalinya, dilontarkan, masih menanyakan siapa yang keluarga GAM Rudy, akhirnya menjawab. 
"Saya, Pak," jawab Rudi. "Maju ke depan," perintah pasukan itu. Dengan rasa tidak bersalah Rudi maju ke depan, mengamini perintah pasukan. Saat itu, Rudi belum diapa-apakan.

Akhirnya, seorang parajurit TNI memerintahkan warga untuk berlari. Semua warga lari, termasuk Rudi. Lalu, tak berapa lama, perintah untuk berhenti, dikumandangkan aparat lainnya. Semua warga, termasuk Rudi, tidak lagi lari.

Saat itulah, tamparan dan pukulan melayang ke tubuh Rudi. Rudi hanya bisa menahan siksaan demi siksaan. Namun, setelah tidak sanggup menahan pukulan itu, Rudi berkata. "Tadi Bapak suruh lari. Ini Bapak pukul lagi. Saya kan tidak bersalah," Rudi membela diri. Muka aparat memerah. "Tuummm....!"

Sebuah tembakan mengenai kaki Rudi. Sebutir peluru bersarang di kakinya. Sementara warga, hanya bisa menyaksikan lakonan bengis itu. Tak berapa lama, mereka diperintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing.

Rudy memang benar keluarga GAM. Salah satu adiknya yang menjadi anggota GAM, kini menjadi Komandan Regu (Danru) GAM). Dia kemudian dibawa bersama pasukan pemerintah. Pasca kejadian itu, desa yang biasanya ramai itu, lengang. Senyap!

Pada hari itu, seorang pedagang pisang yang sudah melewati jalan tersebut, terpaksa pulang melintasi Kecamatan Sawang untuk menghindari maut. Bahkan seorang ibu, sebut saja Rahmi, yang orang tuanya sakit keras, terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang karena kondisi tidak memungkinkan.

Minggu (5/9). Seluruh warga Desa Pandak disuruh berkumpul lagi. Kali ini perintah menjadi lain, semua yang laki tua muda diminta untuk melakukan operasi pencarian senjata, siang dan malam. Bagi kaum perempuan, disuruh tidur di meunasah (surau).

Kewajiban melakukan operasi mencari senjata yang hilang tidak saja berlaku bagi warga desa Pandak tetapi juga berlaku bagi warga desa Moun Ara, Paya Leubu dan Seuneubok Baro

Briefing operasi dilakukan pasukan pemerintah. Tawar-menawar akhirnya terjadi. TNI memerintahkan warga mencari senjata, siang dan malam.

Namun, di sela-sela itu, seorang anggota masyarakat memberanikan diri angkat bicara. "Kami kalau tidak makan, nggak apa-apa, tapi masalahnya bagaimana kita shalat?" tanya seorang warga.

Permintaan itu, tidak mengubah pendirian aparat TNI yang meminta warga untuk mencari senjata hingga malam hari. Warga tidak berani berkata-kata lagi. Sejak itu, warga saban hari dan malam melakukan operasi dan ronda malam massal. Dengan berbekal nasi bungkus, warga menyisir ke sekitar desa. 
Sementara warga desa lainnya, "operasi" pencarian senjata yang hilang, siang dan malam, hanya dilakukan dari tanggal 5-6 September saja. Namun, pada hari-hari selanjutnya, warga hanya diperintahkan untuk mencari senjata hilang pada siang hari saja. Cerita ini masih berlanjut.

Menurut cerita warga Desa Pandak, bagi warga yang tidak terlihat kotor di baju dan badannya, maka hukuman akan diterima berupa jungkir balik ke dalam lumpur sawah. Sementara bagi keluarga GAM, semua anggota keluarga diwajibkan untuk mencari senjata. Tak terkecuali yang sudah berusia lanjut.

Masih menurut cerita warga, penduduk Desa Seuneubok Baro, usai mencari senjata yang hilang, meraka lalu melaporkan hasil pencariannya ke pos aparat. Namun, sesampai di pos, ada warga yang dimintai untuk memakan cabe rawit yang sudah disediakan di pos itu. Kejadian itu, berlangsung di pos yang berada di samping meunasah Desa Pandak. Tidak ada warga yang berani menolak permintaan itu.

Senin (6/9). Operasi pencarian masih berlangsung, namun senjata minimi yang dikabarkan hilang dari tangan Kopral Sumadi, belum juga ditemukan. Pada hari ini, kepala Desa Pandak ditangkap aparat di sebuah warung kopi di Kota Peusangan. 
Menurut sebuah sumber, pada saat itu, Kepala Desa Pandak baru saja pulang dari Banda Aceh. Karena tidak mengetahui ada kejadian "aneh" di kampungnya, dia terus saja pulang ke desanya. Sesampai di Desa Simpang Leubue, ia berjumpa dengan salah satu anggota Koramil setempat.

Aparat Koramil itu memintanya untuk tidak pulang ke desanya. Pasalnya, di desanya sedang berlangsung aksi pencarian senjata dan banyak warga yang dikasari. Mendengar kabar ini, sang geusyik akhirnya memilih menginap di salah satu rumah kerabatnya di salah satu desa di Kecamatan Gandapura.

Namun, "persembunyian" ini tidak lama. Pada Senin (6/9), Pak geusyik ditangkap di Keude Peusangan. Ia lalu dibawa pulang ke Ulee Gle, ibukota Kecamatan Makmur, dan "diinapkan" di pos 406 Candra Kusuma. Di pos TNI ini, kepala desa "diinapkan" dari pukul 12.00 WIB siang, sampai pukul 00.00 WIB dini hari.

Setelah "selesai" di pos 406, sang kepala desa akhirnya dibawa ke Pos Danki di Desa Paloh Kunyet, Kecamatan Gandapura yang berjarak 5 km dari Desa Ule Gle tadi. Di pos itu, kabarnya, sang geusyik disiksa dan dipukul.

Selasa (7/9). Penyiksaan terhadap geusyik masih berlangsung. Sementara di desanya, warga juga masih diwajibkan mencari senjata. Kali ini, warga yang diminta untuk mencari senjata hilang itu, meliputi Desa Pandak, BlangGuro, Alue Pineung, Blang Dalam Dan Bate Dabai. Warga masih belum bisa melakukan aktivitasnya.

Rabu (8/9). Warga Pandak dan desa lainnya masih terus diperintahkan mencari senjata hilang itu. Tak sedikit pula warga yang dianiayai. Camat Makmur, tidak berbuat apa-apa. Di Makmur, camatnya berasal dari aparat TNI.

Seorang warga kecamatan itu, sampai mengeluarkan air mata ketika mengisahkan peristiwa pada acehkita. Dia berkali-kali meminta supaya kejadian ini segera berhenti. Menurutnya, "Warga sudah sangat menderita," katanya.

"Pasti petinggi mereka tidak senang dengan cara seperti itu. Itu bukan menarik simpati masyarakat, melainkan menciptakan dendam baru, " tambahnya. Tidak ada warga yang berani melapor penderitaan yang tengah mereka alami ke Camat. Kamis (10/9). Kepala desa Pandak masih dalam sekapan. Tidak diketahui secara pasti, bagaimana nasib kepala desa yang ditangkap Senin lalu itu.

Jumat, (11/9). Seorang warga yang ikut ditangkap bersama anak gadisnya, pada hari itu dilepas. Terlihat kondisinya memprihatinkan, kakinya seperti lumpuh akibat pukulan. Diperoleh kabar juga, kepala desa masih terus disiksa. Sabtu (12/9). Seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Makmur, memberanikan diri untuk mengadu ke Camat Makmur. Tidak diperoleh kabar, tentang hasil negoisasi itu.

Minggu (13/9). Mobil Polisi Militer wilayah Bireuen menapaki jalan kecamatan sekitar pukul 17.00 WIB. Kehadiran mereka tidak diketahui apa maksud dan hasilnya. Menurut informasi yang diterima acehkita, kehadiran Polisi Militer itu membuat warga sedikit lega. Beberapa warga juga sudah berani membuka kios dan menjalankan aktivitas-aktivitas di desa.

Senin, (14/9). Keadaan sedikit normal. Namun, rasa traumatis di benak warga belum pulih. Mereka masih dilanda ketakutan yang luar biasa. Bahkan warga dari desa lain yang mau memetik pinang ke Desa Pandak dan Alue Pineung, belum berani pergi ke kebun.

Selasa (15/9). Polisi Militer Bireuen kembali lagi ke lokasi itu. Dikabarkan sejumlah warga yang sempat kena pukulan oleh pasukan Pemerintah 406 Diponegoro (Candra Kusuma) diobati secara Cuma-cuma di desa Pandak. Rudi, keluarga GAM yang ditembak di kakinya di Desa Batee Dabai, Sabtu (4/9) lalu, dibawa ke rumah sakit. Kepala Desa Pandak, juga ikut dilepas.

Rabu (16/9). Warga Desa Pandak kembali dipukul pasukan pemerintah. Kali ini tidak saja kaum muda dan tua, anak sekolah pun menjadi sasaran amukan mereka. Menurut salah satu sumber, alasan pemukulan, tak lain karena, kasus ini sudah meluas dan diketahui Polisi Militer (PM), 
Sementara di Desa Alue Pineung-Alue Dua sekitar pukul 08.00 WIB, beberapa warga yang bvaru saja kembali dari kebun guna memetik pinang, ditangkap pasukan TNI. Namun, hal itu cepat diketahui Camat. Setelah Camat meluncur ke TKP, warga itu pun dilepas.

"Tidak tahu bagaimana nasib kami kalau pasukan tersebut masih ada di desa kami. Mungkin satu per satu nyawa kami melayang. Ketika berpergian ke ladang bisa saja mereka beralasan yang ditembak itu GAM. Maunya petingginya yang di Banda Aceh, memikirkan sedikit tentang ini," ujar seorang warga, penuh harap. Harapan itu, menjadi harapan warga lainnya. Warga pun, menginginkan supaya pasukan itu diganti. [Misrie Bireuen - | A]

Popular Post