Bagaimana
Kita Shalat, Tni Suruh Cari Senjata Hilang ? -
Warga beberapa desa di Kecamatan Makmur masih saja menderita. Belum usai penderitaan yang mereka alami, kendati aparat dari Polisi Militer Bireuen, sudah dua kali datang ke desa-desa tersebut. Penderitaan warga empat desa itu berupa pengasaran dan penganiayaan yang dilakukan aparat dari pos 406 Candra Kusuma.
Warga beberapa desa di Kecamatan Makmur masih saja menderita. Belum usai penderitaan yang mereka alami, kendati aparat dari Polisi Militer Bireuen, sudah dua kali datang ke desa-desa tersebut. Penderitaan warga empat desa itu berupa pengasaran dan penganiayaan yang dilakukan aparat dari pos 406 Candra Kusuma.
Personil TNI ini, memerintah warga untuk mencari senjata TNI yang hilang, setelah Kopda Sumadi, tewas ditembak di Desa Blang Pandak atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cot Leupe Desa Pandak, Kec. Makmur, Bireuen.
Selain Sumadi, Sersan Indrianto juga mengalami luka tembak dan berhasil melarikan diri melalui persawahan penduduk. Diduga, Sumadi dan Indrianto ditembak anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Sabtu (4/9) lalu.
Senin (13/9), sekitar pukul 17.00 WIB, beberapa personil Polisi Militer datang ke empat desa yang warganya dianiaya pasukan 406 Candra Kusuma. Selain mengunjungi pos 406 Candra Kusuma, Polisi Militer itu juga mendatangi Komandan Kompi (Danki) kesatuan 406 Candra Kusuma di Desa Paloh Kunyet Kecamatan Gandapura.
Namun, tidak diketahui apa misi kedatangan aparat POM itu. Tapi, setidaknya kedatangan POM ke desa itu, sedikit memberi harapan bagi masyarakat, yang sejak Sabtu (4/9) lalu. Setelah kejadian pemberondongan terhadap dua TNI itu, warga Desa Blang Pandak dikumpulkan ke Desa Ulee Gle.
Warga dibariskan dan dipukuli secara bergiliran. Mereka juga menanyakan keberadaan geusyik. Namun, karena sang kepala desa yang juga berprofesi sebagai pedagang, tidak berada di lokasi pengumpulan warga itu.
Hanya terlihat seorang Sekretaris Desa, sebut saja namanya Rashid. Semua warga yang dikumpulkan di sore hari itu, dipukul aparat. Pemilik motor yang dipakai Kopral Sumadi dan Sersan Indrianto pada saat berpergian itu, juga menjadi sasaran amukan pasukan pemerintah. Setelah dipukuli, semua KTP warga dicabut.
Bukan hanya Desa Blang Pandak saja yang menjadi sasaran amukan pasukan pemerintah itu. Jauh sekitar tiga kilometer dari Desa Blang Pandak, semua warga Desa Batee Dabai juga dikumpulkan di Pos Desa Batee Dalam.
Bukan hanya Desa Blang Pandak saja yang menjadi sasaran amukan pasukan pemerintah itu. Jauh sekitar tiga kilometer dari Desa Blang Pandak, semua warga Desa Batee Dabai juga dikumpulkan di Pos Desa Batee Dalam.
Di sini, ceritanya berbeda dengan lakonan di Desa Blang Pandak. Selain menerima pukulan dan diperintahkan mencari senjata TNI yang hilang, kepada warga desa aparat TNI juga menanyakan siapa saja keluarga GAM.
Tidak ada yang memberikan jawaban. Semua diam membisu. Pasukan TNI kembali menanyakan pertanyaan serupa. Rudi, sebut saja namanya begitu, berbisik kepada warga, yang meminta supaya warga menjawab dia sebagai keluarga GAM.
"Bilang saja, saya keluarga GAM," pinta Rudy kepada warga, seperti ditirukan oleh seorang warga kepada acehkita. Namun, masih saja tidak ada warga yang menjawab. Masih membisu! Pertanyaan untuk ketiga kalinya, dilontarkan, masih menanyakan siapa yang keluarga GAM Rudy, akhirnya menjawab.
Tidak ada yang memberikan jawaban. Semua diam membisu. Pasukan TNI kembali menanyakan pertanyaan serupa. Rudi, sebut saja namanya begitu, berbisik kepada warga, yang meminta supaya warga menjawab dia sebagai keluarga GAM.
"Bilang saja, saya keluarga GAM," pinta Rudy kepada warga, seperti ditirukan oleh seorang warga kepada acehkita. Namun, masih saja tidak ada warga yang menjawab. Masih membisu! Pertanyaan untuk ketiga kalinya, dilontarkan, masih menanyakan siapa yang keluarga GAM Rudy, akhirnya menjawab.
"Saya, Pak," jawab Rudi. "Maju ke depan," perintah pasukan itu. Dengan rasa tidak bersalah Rudi maju ke depan, mengamini perintah pasukan. Saat itu, Rudi belum diapa-apakan.
Akhirnya, seorang parajurit TNI memerintahkan warga untuk berlari. Semua warga lari, termasuk Rudi. Lalu, tak berapa lama, perintah untuk berhenti, dikumandangkan aparat lainnya. Semua warga, termasuk Rudi, tidak lagi lari.
Saat itulah, tamparan dan pukulan melayang ke tubuh Rudi. Rudi hanya bisa menahan siksaan demi siksaan. Namun, setelah tidak sanggup menahan pukulan itu, Rudi berkata. "Tadi Bapak suruh lari. Ini Bapak pukul lagi. Saya kan tidak bersalah," Rudi membela diri. Muka aparat memerah. "Tuummm....!"
Sebuah tembakan mengenai kaki Rudi. Sebutir peluru bersarang di kakinya. Sementara warga, hanya bisa menyaksikan lakonan bengis itu. Tak berapa lama, mereka diperintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Rudy memang benar keluarga GAM. Salah satu adiknya yang menjadi anggota GAM, kini menjadi Komandan Regu (Danru) GAM). Dia kemudian dibawa bersama pasukan pemerintah. Pasca kejadian itu, desa yang biasanya ramai itu, lengang. Senyap!
Pada hari itu, seorang pedagang pisang yang sudah melewati jalan tersebut, terpaksa pulang melintasi Kecamatan Sawang untuk menghindari maut. Bahkan seorang ibu, sebut saja Rahmi, yang orang tuanya sakit keras, terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang karena kondisi tidak memungkinkan.
Minggu (5/9). Seluruh warga Desa Pandak disuruh berkumpul lagi. Kali ini perintah menjadi lain, semua yang laki tua muda diminta untuk melakukan operasi pencarian senjata, siang dan malam. Bagi kaum perempuan, disuruh tidur di meunasah (surau).
Kewajiban melakukan operasi mencari senjata yang hilang tidak saja berlaku bagi warga desa Pandak tetapi juga berlaku bagi warga desa Moun Ara, Paya Leubu dan Seuneubok Baro
Briefing operasi dilakukan pasukan pemerintah. Tawar-menawar akhirnya terjadi. TNI memerintahkan warga mencari senjata, siang dan malam.
Namun, di sela-sela itu, seorang anggota masyarakat memberanikan diri angkat bicara. "Kami kalau tidak makan, nggak apa-apa, tapi masalahnya bagaimana kita shalat?" tanya seorang warga.
Permintaan itu, tidak mengubah pendirian aparat TNI yang meminta warga untuk mencari senjata hingga malam hari. Warga tidak berani berkata-kata lagi. Sejak itu, warga saban hari dan malam melakukan operasi dan ronda malam massal. Dengan berbekal nasi bungkus, warga menyisir ke sekitar desa.
Akhirnya, seorang parajurit TNI memerintahkan warga untuk berlari. Semua warga lari, termasuk Rudi. Lalu, tak berapa lama, perintah untuk berhenti, dikumandangkan aparat lainnya. Semua warga, termasuk Rudi, tidak lagi lari.
Saat itulah, tamparan dan pukulan melayang ke tubuh Rudi. Rudi hanya bisa menahan siksaan demi siksaan. Namun, setelah tidak sanggup menahan pukulan itu, Rudi berkata. "Tadi Bapak suruh lari. Ini Bapak pukul lagi. Saya kan tidak bersalah," Rudi membela diri. Muka aparat memerah. "Tuummm....!"
Sebuah tembakan mengenai kaki Rudi. Sebutir peluru bersarang di kakinya. Sementara warga, hanya bisa menyaksikan lakonan bengis itu. Tak berapa lama, mereka diperintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Rudy memang benar keluarga GAM. Salah satu adiknya yang menjadi anggota GAM, kini menjadi Komandan Regu (Danru) GAM). Dia kemudian dibawa bersama pasukan pemerintah. Pasca kejadian itu, desa yang biasanya ramai itu, lengang. Senyap!
Pada hari itu, seorang pedagang pisang yang sudah melewati jalan tersebut, terpaksa pulang melintasi Kecamatan Sawang untuk menghindari maut. Bahkan seorang ibu, sebut saja Rahmi, yang orang tuanya sakit keras, terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang karena kondisi tidak memungkinkan.
Minggu (5/9). Seluruh warga Desa Pandak disuruh berkumpul lagi. Kali ini perintah menjadi lain, semua yang laki tua muda diminta untuk melakukan operasi pencarian senjata, siang dan malam. Bagi kaum perempuan, disuruh tidur di meunasah (surau).
Kewajiban melakukan operasi mencari senjata yang hilang tidak saja berlaku bagi warga desa Pandak tetapi juga berlaku bagi warga desa Moun Ara, Paya Leubu dan Seuneubok Baro
Briefing operasi dilakukan pasukan pemerintah. Tawar-menawar akhirnya terjadi. TNI memerintahkan warga mencari senjata, siang dan malam.
Namun, di sela-sela itu, seorang anggota masyarakat memberanikan diri angkat bicara. "Kami kalau tidak makan, nggak apa-apa, tapi masalahnya bagaimana kita shalat?" tanya seorang warga.
Permintaan itu, tidak mengubah pendirian aparat TNI yang meminta warga untuk mencari senjata hingga malam hari. Warga tidak berani berkata-kata lagi. Sejak itu, warga saban hari dan malam melakukan operasi dan ronda malam massal. Dengan berbekal nasi bungkus, warga menyisir ke sekitar desa.
Sementara warga desa lainnya, "operasi" pencarian senjata yang hilang, siang dan malam, hanya dilakukan dari tanggal 5-6 September saja. Namun, pada hari-hari selanjutnya, warga hanya diperintahkan untuk mencari senjata hilang pada siang hari saja. Cerita ini masih berlanjut.
Menurut cerita warga Desa Pandak, bagi warga yang tidak terlihat kotor di baju dan badannya, maka hukuman akan diterima berupa jungkir balik ke dalam lumpur sawah. Sementara bagi keluarga GAM, semua anggota keluarga diwajibkan untuk mencari senjata. Tak terkecuali yang sudah berusia lanjut.
Masih menurut cerita warga, penduduk Desa Seuneubok Baro, usai mencari senjata yang hilang, meraka lalu melaporkan hasil pencariannya ke pos aparat. Namun, sesampai di pos, ada warga yang dimintai untuk memakan cabe rawit yang sudah disediakan di pos itu. Kejadian itu, berlangsung di pos yang berada di samping meunasah Desa Pandak. Tidak ada warga yang berani menolak permintaan itu.
Senin (6/9). Operasi pencarian masih berlangsung, namun senjata minimi yang dikabarkan hilang dari tangan Kopral Sumadi, belum juga ditemukan. Pada hari ini, kepala Desa Pandak ditangkap aparat di sebuah warung kopi di Kota Peusangan.
Menurut cerita warga Desa Pandak, bagi warga yang tidak terlihat kotor di baju dan badannya, maka hukuman akan diterima berupa jungkir balik ke dalam lumpur sawah. Sementara bagi keluarga GAM, semua anggota keluarga diwajibkan untuk mencari senjata. Tak terkecuali yang sudah berusia lanjut.
Masih menurut cerita warga, penduduk Desa Seuneubok Baro, usai mencari senjata yang hilang, meraka lalu melaporkan hasil pencariannya ke pos aparat. Namun, sesampai di pos, ada warga yang dimintai untuk memakan cabe rawit yang sudah disediakan di pos itu. Kejadian itu, berlangsung di pos yang berada di samping meunasah Desa Pandak. Tidak ada warga yang berani menolak permintaan itu.
Senin (6/9). Operasi pencarian masih berlangsung, namun senjata minimi yang dikabarkan hilang dari tangan Kopral Sumadi, belum juga ditemukan. Pada hari ini, kepala Desa Pandak ditangkap aparat di sebuah warung kopi di Kota Peusangan.
Menurut sebuah sumber, pada saat itu, Kepala Desa Pandak baru saja pulang dari Banda Aceh. Karena tidak mengetahui ada kejadian "aneh" di kampungnya, dia terus saja pulang ke desanya. Sesampai di Desa Simpang Leubue, ia berjumpa dengan salah satu anggota Koramil setempat.
Aparat Koramil itu memintanya untuk tidak pulang ke desanya. Pasalnya, di desanya sedang berlangsung aksi pencarian senjata dan banyak warga yang dikasari. Mendengar kabar ini, sang geusyik akhirnya memilih menginap di salah satu rumah kerabatnya di salah satu desa di Kecamatan Gandapura.
Namun, "persembunyian" ini tidak lama. Pada Senin (6/9), Pak geusyik ditangkap di Keude Peusangan. Ia lalu dibawa pulang ke Ulee Gle, ibukota Kecamatan Makmur, dan "diinapkan" di pos 406 Candra Kusuma. Di pos TNI ini, kepala desa "diinapkan" dari pukul 12.00 WIB siang, sampai pukul 00.00 WIB dini hari.
Setelah "selesai" di pos 406, sang kepala desa akhirnya dibawa ke Pos Danki di Desa Paloh Kunyet, Kecamatan Gandapura yang berjarak 5 km dari Desa Ule Gle tadi. Di pos itu, kabarnya, sang geusyik disiksa dan dipukul.
Selasa (7/9). Penyiksaan terhadap geusyik masih berlangsung. Sementara di desanya, warga juga masih diwajibkan mencari senjata. Kali ini, warga yang diminta untuk mencari senjata hilang itu, meliputi Desa Pandak, BlangGuro, Alue Pineung, Blang Dalam Dan Bate Dabai. Warga masih belum bisa melakukan aktivitasnya.
Rabu (8/9). Warga Pandak dan desa lainnya masih terus diperintahkan mencari senjata hilang itu. Tak sedikit pula warga yang dianiayai. Camat Makmur, tidak berbuat apa-apa. Di Makmur, camatnya berasal dari aparat TNI.
Seorang warga kecamatan itu, sampai mengeluarkan air mata ketika mengisahkan peristiwa pada acehkita. Dia berkali-kali meminta supaya kejadian ini segera berhenti. Menurutnya, "Warga sudah sangat menderita," katanya.
"Pasti petinggi mereka tidak senang dengan cara seperti itu. Itu bukan menarik simpati masyarakat, melainkan menciptakan dendam baru, " tambahnya. Tidak ada warga yang berani melapor penderitaan yang tengah mereka alami ke Camat. Kamis (10/9). Kepala desa Pandak masih dalam sekapan. Tidak diketahui secara pasti, bagaimana nasib kepala desa yang ditangkap Senin lalu itu.
Jumat, (11/9). Seorang warga yang ikut ditangkap bersama anak gadisnya, pada hari itu dilepas. Terlihat kondisinya memprihatinkan, kakinya seperti lumpuh akibat pukulan. Diperoleh kabar juga, kepala desa masih terus disiksa. Sabtu (12/9). Seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Makmur, memberanikan diri untuk mengadu ke Camat Makmur. Tidak diperoleh kabar, tentang hasil negoisasi itu.
Minggu (13/9). Mobil Polisi Militer wilayah Bireuen menapaki jalan kecamatan sekitar pukul 17.00 WIB. Kehadiran mereka tidak diketahui apa maksud dan hasilnya. Menurut informasi yang diterima acehkita, kehadiran Polisi Militer itu membuat warga sedikit lega. Beberapa warga juga sudah berani membuka kios dan menjalankan aktivitas-aktivitas di desa.
Senin, (14/9). Keadaan sedikit normal. Namun, rasa traumatis di benak warga belum pulih. Mereka masih dilanda ketakutan yang luar biasa. Bahkan warga dari desa lain yang mau memetik pinang ke Desa Pandak dan Alue Pineung, belum berani pergi ke kebun.
Selasa (15/9). Polisi Militer Bireuen kembali lagi ke lokasi itu. Dikabarkan sejumlah warga yang sempat kena pukulan oleh pasukan Pemerintah 406 Diponegoro (Candra Kusuma) diobati secara Cuma-cuma di desa Pandak. Rudi, keluarga GAM yang ditembak di kakinya di Desa Batee Dabai, Sabtu (4/9) lalu, dibawa ke rumah sakit. Kepala Desa Pandak, juga ikut dilepas.
Rabu (16/9). Warga Desa Pandak kembali dipukul pasukan pemerintah. Kali ini tidak saja kaum muda dan tua, anak sekolah pun menjadi sasaran amukan mereka. Menurut salah satu sumber, alasan pemukulan, tak lain karena, kasus ini sudah meluas dan diketahui Polisi Militer (PM),
Aparat Koramil itu memintanya untuk tidak pulang ke desanya. Pasalnya, di desanya sedang berlangsung aksi pencarian senjata dan banyak warga yang dikasari. Mendengar kabar ini, sang geusyik akhirnya memilih menginap di salah satu rumah kerabatnya di salah satu desa di Kecamatan Gandapura.
Namun, "persembunyian" ini tidak lama. Pada Senin (6/9), Pak geusyik ditangkap di Keude Peusangan. Ia lalu dibawa pulang ke Ulee Gle, ibukota Kecamatan Makmur, dan "diinapkan" di pos 406 Candra Kusuma. Di pos TNI ini, kepala desa "diinapkan" dari pukul 12.00 WIB siang, sampai pukul 00.00 WIB dini hari.
Setelah "selesai" di pos 406, sang kepala desa akhirnya dibawa ke Pos Danki di Desa Paloh Kunyet, Kecamatan Gandapura yang berjarak 5 km dari Desa Ule Gle tadi. Di pos itu, kabarnya, sang geusyik disiksa dan dipukul.
Selasa (7/9). Penyiksaan terhadap geusyik masih berlangsung. Sementara di desanya, warga juga masih diwajibkan mencari senjata. Kali ini, warga yang diminta untuk mencari senjata hilang itu, meliputi Desa Pandak, BlangGuro, Alue Pineung, Blang Dalam Dan Bate Dabai. Warga masih belum bisa melakukan aktivitasnya.
Rabu (8/9). Warga Pandak dan desa lainnya masih terus diperintahkan mencari senjata hilang itu. Tak sedikit pula warga yang dianiayai. Camat Makmur, tidak berbuat apa-apa. Di Makmur, camatnya berasal dari aparat TNI.
Seorang warga kecamatan itu, sampai mengeluarkan air mata ketika mengisahkan peristiwa pada acehkita. Dia berkali-kali meminta supaya kejadian ini segera berhenti. Menurutnya, "Warga sudah sangat menderita," katanya.
"Pasti petinggi mereka tidak senang dengan cara seperti itu. Itu bukan menarik simpati masyarakat, melainkan menciptakan dendam baru, " tambahnya. Tidak ada warga yang berani melapor penderitaan yang tengah mereka alami ke Camat. Kamis (10/9). Kepala desa Pandak masih dalam sekapan. Tidak diketahui secara pasti, bagaimana nasib kepala desa yang ditangkap Senin lalu itu.
Jumat, (11/9). Seorang warga yang ikut ditangkap bersama anak gadisnya, pada hari itu dilepas. Terlihat kondisinya memprihatinkan, kakinya seperti lumpuh akibat pukulan. Diperoleh kabar juga, kepala desa masih terus disiksa. Sabtu (12/9). Seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Makmur, memberanikan diri untuk mengadu ke Camat Makmur. Tidak diperoleh kabar, tentang hasil negoisasi itu.
Minggu (13/9). Mobil Polisi Militer wilayah Bireuen menapaki jalan kecamatan sekitar pukul 17.00 WIB. Kehadiran mereka tidak diketahui apa maksud dan hasilnya. Menurut informasi yang diterima acehkita, kehadiran Polisi Militer itu membuat warga sedikit lega. Beberapa warga juga sudah berani membuka kios dan menjalankan aktivitas-aktivitas di desa.
Senin, (14/9). Keadaan sedikit normal. Namun, rasa traumatis di benak warga belum pulih. Mereka masih dilanda ketakutan yang luar biasa. Bahkan warga dari desa lain yang mau memetik pinang ke Desa Pandak dan Alue Pineung, belum berani pergi ke kebun.
Selasa (15/9). Polisi Militer Bireuen kembali lagi ke lokasi itu. Dikabarkan sejumlah warga yang sempat kena pukulan oleh pasukan Pemerintah 406 Diponegoro (Candra Kusuma) diobati secara Cuma-cuma di desa Pandak. Rudi, keluarga GAM yang ditembak di kakinya di Desa Batee Dabai, Sabtu (4/9) lalu, dibawa ke rumah sakit. Kepala Desa Pandak, juga ikut dilepas.
Rabu (16/9). Warga Desa Pandak kembali dipukul pasukan pemerintah. Kali ini tidak saja kaum muda dan tua, anak sekolah pun menjadi sasaran amukan mereka. Menurut salah satu sumber, alasan pemukulan, tak lain karena, kasus ini sudah meluas dan diketahui Polisi Militer (PM),
Sementara di Desa Alue Pineung-Alue Dua sekitar pukul 08.00 WIB, beberapa warga yang bvaru saja kembali dari kebun guna memetik pinang, ditangkap pasukan TNI. Namun, hal itu cepat diketahui Camat. Setelah Camat meluncur ke TKP, warga itu pun dilepas.
"Tidak tahu bagaimana nasib kami kalau pasukan tersebut masih ada di desa kami. Mungkin satu per satu nyawa kami melayang. Ketika berpergian ke ladang bisa saja mereka beralasan yang ditembak itu GAM. Maunya petingginya yang di Banda Aceh, memikirkan sedikit tentang ini," ujar seorang warga, penuh harap. Harapan itu, menjadi harapan warga lainnya. Warga pun, menginginkan supaya pasukan itu diganti. [Misrie Bireuen - | A]
"Tidak tahu bagaimana nasib kami kalau pasukan tersebut masih ada di desa kami. Mungkin satu per satu nyawa kami melayang. Ketika berpergian ke ladang bisa saja mereka beralasan yang ditembak itu GAM. Maunya petingginya yang di Banda Aceh, memikirkan sedikit tentang ini," ujar seorang warga, penuh harap. Harapan itu, menjadi harapan warga lainnya. Warga pun, menginginkan supaya pasukan itu diganti. [Misrie Bireuen - | A]