Facebook Twitter Google RSS

Friday 14 September 2007

Telapak Cheng Ho di Laut Kita

Unknown     03:28  

Ia hidup dan berkreasi 600 tahun yang lalu. Tubuhnya mencolok, tinggi besar. Tapi ukuran fisik itu tak penting lagi bila dibandingkan dengan prestasinya. Ya, ekspedisi Cheng Ho ke 37 negara di dunia membuat orang-orang seperti Vasco da Gama, si penemu India, dan Christopher Columbus, penemu Amerika, tampak kecil. 

Bagi kita, yang lebih menarik adalah jejak-jejak yang ditinggalkan di Aceh, Palembang, Tuban, Surabaya, dan tempat-tempat lainnya. Di sanalah kasim dinasti Ming ini menanamkan eksistensinya dalam ingatan turun-temurun para penduduk setempat. 

Cheng Ho sudah lama meninggal, tapi cerita tentang dirinya begitu hidup, kaya improvisasi. Majalah ini menyajikan aneka cerita yang berkaitan dengan jejak Cheng Ho di negeri ini.

Enam ratus tahun silam, dialah bintang yang terang. Kita kenal Cheng Ho, laksamana hebat itu, melalui deskripsi ini: tingginya di atas dua meter, wajahnya tampan, alisnya tebal, matanya besar, suaranya keras dan nyaring seperti dentang bel raksasa, dan armadanya luar biasa.

Ya, waktu itu, seorang lelaki yang pernah berdiri di titik paling selatan Sri Lanka menyaksikan pemandangan yang membuatnya takjub. Mulanya, kata si lelaki, tampak bayangan begitu pekat di garis horizon. 


Bayangan itu bergerak perlahan. Dan manakala awan dan kabut tersibak, kelihatanlah sosoknya yang lebih jelas. Mendekati bentuk sebuah kota terapung, hanyut mendekati pantai Samudra Hindia.

Iring-iringan mayestis itu membentang hampir 1.000 meter di garis cakrawala, dan memanjang dengan jarak antara kapal pertama dan terakhir mencapai 1,5 kilometer. 


Kekuatan laut ini mengangkut 30 ribu serdadu, ratusan pejabat, 180 dokter, lima astrolog, puluhan akuntan, penjahit, juru masak, pedagang, dan penerjemah. Ma Huan, salah seorang di antara mereka, mencatat dalam bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Daratan-daratan Samudra).

Ma Huan seorang muslim—Ma di sini sama dengan Muhammad. Ia menguasai bahasa Arab dan Persia, tapi punya minat melimpah mengenai segalanya yang asing: dari ritual pemakaman, perkawinan, kepercayaan masyarakat, arsitektur, dunia flora-fauna, hingga kuat-lemahnya pemerintah di tempat-tempat yang dikunjunginya. 

Dalam Ying-yai Sheng-lan, ia mengungkap keterpesonaannya terhadap aneka burung yang hidup di Jawa (Chao Wa). Secara khusus, ia menyebut sejenis burung yang mampu menirukan suara manusia.

Waktu itu, dalam pelayaran keempat Cheng Ho (1413), Ma Huan masih di usia 25 tahun. Dan ia menangkap suatu fenomena sosial yang merisaukan hatinya: frekuensi pembunuhan yang tinggi di tanah Jawa (baca: Majapahit). ”Mereka menusuk di antara tulang iga, sehingga korban langsung mati,” tulisnya.

Ya, pembunuhan yang dinilainya berangkat dari hal sepele, juga yang berangkat dari keyakinan yang susah dipahaminya. Memegang kepala orang lain sama dengan penghinaan. Penghinaan yang bermuara kematian. Jawa, di mata Ma Huan, juga merupakan tempat dengan penduduk lelakinya—dari usia tiga sampai seratus tahun—membawa pisau.

Saat itu, kapal yang ditumpangi Ma Huan bertolak dari Campa (kini bagian dari Vietnam), berlabuh di Surabaya. Empat bulan armada Cheng Ho merapat di kota itu, sebelum akhirnya mengangkat sauh pada Juli, ketika angin bertiup ke Barat. Surabaya adalah landasan sebelum destinasi mereka selanjutnya: Palembang, Sri Lanka, Kalkuta, Hormuz, dan seterusnya.

Menurut catatan Ma Huan, Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai Shepo memiliki empat kota, tanpa dikelilingi dinding. Kapal mendarat di Tupan (Tuban), lalu di kota yang bernama Desa Baru atau Koerhhsi (Gresik), dan terakhir Sulumai (Surabaya). Setelah itu, rombongan sampai ke Kota Manchepoi (Majapahit), tempat tinggal raja.

Ma Huan menggambarkan istana Majapahit bertembok bata, dengan gerbang dua lapis. Rajanya berambut kusut, terkadang bermahkota daun emas, tapi tanpa jubah, bertelanjang dada dan kaki. Ia hanya mengenakan selembar atau dua lembar kain sutra dengan ikat pinggang, untuk menyelipkan dua bilah pisau yang disebutnya pulatou.

Banyak cerita tentang Majapahit. Tapi, di luar catatan Ma Huan itu, jejak armada Cheng Ho hanya terdeteksi pada sepotong kayu aji, balok kayu yang berwarna hitam. Willy Pangestu, ahli sejarah Cheng Ho di Surabaya, merasa yakin itulah bagian dari ekspedisi. Kayu balok hitam itu sudah dites di laboratorium Cina. 

Hasilnya, ”Berkait dengan masa-masa armada Cheng Ho singgah,” kata Willy. ”Kayu aji sekarang disimpan di Kelenteng Mbah Ratu, Surabaya.”

Kita memang hanya melihat bukti-bukti kehadiran Cheng Ho yang terbatas: kayu aji di Surabaya, lonceng Cakra Donya di Banda Aceh, jangkar di Semarang dan Tuban. Sejauh ini hubungan jangkar di Tuban dan Semarang dengan Cheng Ho masih diragukan. 

Bahkan Ma Huan sendiri tidak menyebut Semarang sebagai salah satu titik singgah armada Cheng Ho—begitu juga juru tulis Fei Xin dan Gong Zheng (lihat: Cheng Ho, oleh Remy Silado). 

Bagaimana dengan lonceng Cakra Donya di Aceh? Kehadiran armada Cheng Ho di Aceh sangat jelas dicatat dalam buku Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan. Ma menyebutnya Semudra, pertanda mereka berhubungan dengan Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-15.

Pada ekspedisi pertama, Cheng Ho berlabuh di Semudra (Lhok Seumawe), Lambri (Aceh secara umum). Samudra dan Lambri tempat yang selalu disinggahi dalam setiap ekspedisinya. Bahkan pada ekspedisi ketujuh, ada catatan rinci. Pada 3 Agustus 1432, kapal mereka sampai di Malaka dan kembali berlayar pada 2 September 1432. 

Sampai Sumentala atau Samudra dekat Kuala Pasai, 12 September 1432. Kapal berlabuh di Taluman, yang dalam catatan perjalanan Ibnu Battuta dalam Raja-raja Pasai disebut Sarhi atau Sarha.

Tidak jelas letak Taluman sekarang. Ada perkiraan kapal-kapal Cheng Ho merapat di Kuala Pedena di Desa Beringin, Kecamatan Samudra Gedong. Namun, tidak ada sisa-sisa tetenger tertinggal di sana, karena pelabuhan tersebut sudah tergerus air. Arus air memang bisa menghapus bekas tempat berlabuh armada Cheng Ho. 

Sejarawan Sumatera Selatan, Johan Hanafia, menemui kesulitan untuk mengumpulkan bukti arkeologis Cheng Ho di Palembang. Dan Palembang adalah Kukang, pelabuhan lama.

Dan ciri khas kota pelabuhan zaman dulu, semua bangunan berdiri di atas air. Padahal bahan bangunan umumnya kayu, dan tidak akan bertahan hingga 100 tahun.

Nasib Palembang dan Aceh serupa. Keduanya sama-sama kekurangan bukti kehadiran armada Cheng Ho, juga sama-sama pernah merasakan otot kekuatan militer armada itu. Ada 63 kapal, dengan 28.560 orang awak dalam ekspedisi ke empat.

Cheng Ho turun tangan ketika pemberontak bernama Sekander (mungkin maksudnya Iskandar) sekonyong-konyong mengambil alih kekuasaan. Di Nanking, kaisar Cina tidak senang melihat perubahan ini. Seraya memerintahkan Zheng Ho mengembalikan takhta yang lepas dari tangan Sultan Zainal Abidin (1420-1428).

Pasukan Cheng Ho terus memburu Sekander, yang sudah kalah dan lari ke Lambri. Sekander bersama anak dan istrinya dapat ditangkap hidup-hidup. Ketika ekspedisi pulang kampung, Cheng Ho menyerahkan Sekander kepada kaisar. Kaisar Cina memutuskan: eksekusi di hadapan publik buat sang pemberontak.

Samudra Pasai negeri yang mempunyai arti penting, dan perubahan pemerintah bisa mengganggu kerja sama selama ini. Menurut Ali Akbar, Penasihat Majelis Adat Aceh, Samudra Pasai istimewa karena, ”Pasai bisa menjadi pengekspor utama sutra.”

Sebelum itu, pada ekspedisi pertama, Cheng Ho membersihkan jalur Selat Bangka dan Selat Malaka dari perompak, sekaligus melindungi komunitas kecil Tionghoa di sana. Sebelum armada Zheng Ho tiba di Palembang, sudah banyak orang Cina tinggal di sana.

Termasuk Chen Tsu I, bekas pendukung dinasti Mongol, rezim terdahulu, yang lari dengan tujuh kapal dan menjadi perompak tangguh. Chen Tsu I menjadi ancaman setelah pimpinan masyarakat Palembang, Shi Jingging, pergi ke Cina, melaporkan kejahatan perompak itu.

Cheng Ho dikirim untuk menyelesaikan masalah. Ia mendekatinya secara baik-baik, namun Cheng Tsu I justru menyerang. Pertempuran laut yang hebat berkobar. Sekitar 5.000 orang terbunuh dan 17 kapal dibakar, sedangkan Cheng Tsu I yang tak berdaya dibawa ke Nanking untuk dihukum. Akibat pertempuran ini, ekspedisi terlambat tiga bulan. Cheng Ho kembali ke Nanking pada 2 Oktober 1407, dan kaisar Cina menjatuhkan vonis mati bagi perompak itu.

Dalam catatan Cheng Ho, Palembang ”tempat perlindungan tua”, juga disebut SanFochi atau Polinpang. Negara ini berada di bawah kekuasaan Chaowa (Jawa). Kapal-kapal dari segala penjuru merapat di pelabuhan yang memiliki banyak tugu batu bata, untuk mendapatkan air segar.

Tapi, untuk mencapai ibu kota, para pendatang harus menempuh muara dan menggunakan kapal yang lebih kecil. Yang menarik, Ma Huan menggambarkan rumah-rumah sungai yang dibangun di atas rakit kayu. 


Jika air pasang, penduduk menggunakan tali untuk mencancang rumah rakit mereka ke pinggiran sungai. Bila mereka bosan tinggal di satu tempat, rumah rakit dengan mudah dipindah ke lokasi lain.

Palembang adalah kota tua. Prasasti Kedukan Bukit Kerajaan Sriwijaya menunjuk tahun kelahirannya 682 Masehi. Artinya, Palembang lebih tua daripada Bagdad (762 M) dan Kyoto (794 M). Sayangnya, ”kota tua” ini tak punya catatan sejarah antarwaktu. Bukti-bukti arkeologi yang bisa menghubungkan dengan Palembang masa kini baru ditemukan pada abad ke-18 dan 19. 

Johan Hanafiah, pembina adat Palembang, mengkritik pengajaran sejarah yang cenderung mengingat Majapahit, melupakan Sriwijaya. Jejak Cheng Ho tak terekam. ”Waktu saya kecil, saya tidak mendengar Sriwijaya, tapi Majapahit,” katanya.

Gambaran sebaliknya tentang Majapahit bisa kita dapat dalam karya Ma Huan. Ma Huan mencatat masyarakat Majapahit yang terbagi dalam tiga kelas, yaitu muslim, Tang, dan penduduk asli. Kelompok muslim adalah orang dari negara-negara Barat (Timur Tengah) yang semula pedagang dan kemudian tinggal di Majapahit. Pakaian dan makanan mereka bersih.

Begitu juga dengan Tang, para pendatang yang umumnya dari Tiongkok, dan banyak masuk Islam. Sedangkan penduduk asli sangat buruk, berambut kusut dan bertelanjang kaki. Mereka makan makanan aneh seperti ular, semut, berbagai serangga dan cacing yang hanya dibakar. Penduduk Majapahit, begitu ditulisnya, terbiasa tidur bersama anjing.

Ma Huan memang tak memiliki gambaran indah tentang Majapahit. Tapi menurut catatan sejarah Cina, Cheng Ho punya keterkaitan cukup erat dengan Majapahit. Pada 1407, sekitar 170 anak buah Cheng Ho dibunuh pasukan Majapahit. 


Lalu, Dinasti Ming menuntut ganti rugi 60.000 liang atau sekitar 22 kilogram emas. Karena tuntutan tersebut tak dipenuhi, tentara Cheng Ho pun menyerang Majapahit.

Catatan tersebut dibuat sebelum kematian Raja Wikramawardhana pada 1428. Tidak ada tulisan Ma Huan tentang pembunuhan 170 anak buah Cheng Ho, karena Ma Huan memang tidak ikut dalam ekspedisi pertama.

Tujuh ekspedisi Cheng Ho—dari pelayaran pertama 1405, dan terakhir 1433—tentu berisi rangkaian program yang ambisius. Kontroversi tentang motif ekspedisi tak kunjung selesai diperdebatkan: adakah itu semacam gun boat diplomacy, sebagaimana dipraktekkan adikuasa dewasa ini? 

Sekadar salam damai yang bakal membuka simpul-simpul diplomasi dan potensi perdagangan? Atau eksplorasi ilmiah yang ditunjang logistik berskala besar, baik militer maupun nonmiliter? 

Usaha menjalin kerja sama Cina dengan kerajaan-kerajaan Islam waktu itu untuk menghadapi kekuatan Hindu lewat poros India-Siam-Jawa? Ataukah akumulasi semua kepentingan itu?

Pengamat budaya Remy Silado menangkap ”akibat” ekspedisi. Armada Cheng Ho adalah armada yang mayoritas anggotanya pemuda, dan mereka menghabiskan masa mudanya di tengah laut. 


Cheng Ho punya kebiasaan meninggalkan beberapa anak buahnya di tempat-tempat yang disinggahi. Mereka berbaur, kawin-mawin dengan masyarakat setempat. Mereka juga mengajarkan ilmu tertentu, seperti teknik bercocok tanam dan menenun benang dari ulat sutra.

”Perpisahan” dengan anak buah dianggap biasa saja hingga peristiwa ketika berlabuh di Chialupa (Sunda Kelapa). 

Juru masak kepercayaan Cheng Ho—karena ia muslim dan tidak akan memasukkan babi dalam masakannya—Sam Poo Soei Soe, menikah dengan Tiwati, gadis setempat, dan tinggal. Cheng Ho pun sedih. Hingga kini patung pasangan pengantin juru masak dengan gadis Sunda Kelapa bisa dilihat di Wihara Bahtra Bhakti di Ancol.

Ya, sejauh ini kita hanya mendengar ”akibat” ekspedisi. Tapi, dari pelbagai telaah, semua setuju bahwa Cheng Ho berkarakter kuat, dan bernama asli Ma Ho. Ayahnya Ma Ha Ze, dan kakek buyutnya asli Bayan, keturunan Mongol-Arab. Ma Ha Ze seorang haji. 

Ma Ho dikebiri kala berusia 12 tahun, saat tentara Ming menyerbu tempat tinggalnya di Provinsi Yunan. Ia dibawa ke Nanking, ibu kota, dan beberapa tahun berselang berhasil menimbulkan kekaguman orang di sekitarnya. Ia pintar, dan terbukti sebagai ahli strategi perang yang dahsyat.

Cheng Ho telah berlayar jauh, sangat jauh. Dalam pelayaran terakhir, 1433, Cheng Ho membuat keputusan bersifat pribadi. Ia memerintahkan armadanya menuju Mekah. Sama seperti ayahnya, di sana ia menunaikan haji. 

Dua tahun kemudian, dalam perjalanan pulang, ia meninggal dunia. Sebuah nisan besar didirikan di Nanking. Tapi para sejarawan telah percaya, mayatnya ditenggelamkan di Laut Malabar. Bagaimana halnya dengan Ma Huan?

Yang terang, ia berwawasan luas. Dan ia menulis beberapa buku lain sesudah Ying-yai Sheng-lan. Ma Huan dikaruniai umur panjang. Ia meninggal pada usia 80-an tahun.

Bina Bektiati, Imran M.A. (Lhok Seumawe), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Arif Ardiansyah (Palembang), Sohirin (Semarang)

Unknown


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Popular Post