Facebook Twitter Google RSS
Showing posts with label FEATURE. Show all posts
Showing posts with label FEATURE. Show all posts

Thursday 23 March 2017

Turis Asal Cina Keliling Jual Pakaian, 'Hap' Lalu Ditangkap

Unknown     16:12  
Lhokseumawe - Hong Junzhong, 54 tahun, warga Guangdong, Cina pemegang paspor nomor E92533615 ditangkap sedang berjualan pakaian di Rantau Panjang, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Kini Hong Junzhong ditahan di kantor imigrasi Langsa karena menyalahi izin tinggal.

Afrizal Kepala seksi pengawasan dan penindakan keimigrasian Kota Langsa, mengatakan, Hong Junzhong telah melanggar Undang-Undang Keimigrasian Indonesia pasal 122 nomor 6 tahun 2011 tentang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.

"Ia terancam hukuman maksimal lima tahun dan pidana denda maksimal 500 juta,” kata Afrizal, Rabu, 22 Maret 2017.

Dia menambahkan, secara aturan tersangka dapat ditahan selama 30 hari, namun bila dalam seminggu ada keputusan dari kantor Kemenkumham wilayah, maka tersangka akan langsung diproses secara hukum yang berlaku.

Sebagaimana diketahui Hong Junzhong ditangkap, Senin, 20 Maret 2017, kala itu ia sedang menjual pakaian jadi keliling dengan menggunakan Mobil Kijang Inova, di Desa Kliet, Kecamatan Rantau Perlak, Kabupaten Aceh Timur, karena merasa aneh dengan logat bahasa Junzhong, akhirnya warga melaporkannya ke pihak kepolisian Aceh Timur, ketika diperiksa Junzhong tidak menunjukkan visa yang sesuai dengan kegiatannya, ia hanya menunjukkan visa kunjungan wisata (turis).

Bersamnya turut diamankan barang bukti berupa paspor dari Kedutaan Cina atas nama Hong/Junzhong, barang dagangan berupa baju kaos dan celana, 13 buah jam tangan, dan uang tunai Rp 9.933.000. IMRAN. MA

Pelaku Penembakan Aceh Timur Dibekuk, Motifnya Persaingan Pilkada

Unknown     15:57  
Lhokseumawe – Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Aceh dan anggota Polres Aceh Timur menangkap AR alias Agus, 31 tahun, dan MJ alias Jais, 30 tahun, dua dari empat pelaku penembakan terhadap Juman, 51 tahun dan Misno, 35 tahun, warga Peunaron Baru, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan dua pelaku lainnya, Z Alias Nato dan C alias Cangguk, masih buron. 

Agus ditangkap pada Minggu, 19 Maret 2017, di sebuah tempat kos di Kota Langsa. Sedangkan Jais ditangkap di sebuah rumah di Desa Paya Ketenggar, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang. Agus menjabat sebagai Panglima Sago Peunaron (jabatan setingkat koramil dalam struktur Gerakan Aceh Merdeka), sementara Jais merupakan anggota satuan tugas partai lokal di Aceh.

Baca: Polisi Selidiki Motif Penembakan pada 2 Warga Aceh Timur 

“Benar dua telah ditangkap, mereka AR dan MJ, sementara Z  dan C masih dalam pengejaran,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Goenawan, Selasa, 21 Maret 2017

Goenawan menuturkan penembakan tersebut direncanakan oleh Agus. Mereka mengadakan rapat di Desa Pasir Putih, Kecamatan Rantau Peureulak yang dihadiri oleh Jaiz, Cangguk dan Nato. Ahad dini hari, 5 Maret 2017, mereka bergerak menuju rumah Juman. Untuk membangunkan korban, pelaku membakar kain dan mobil Taft. 

Setelah korban bangun dan membuka pintu,  Nato dan Cangguk melepaskan tembakan. “Menurut pengakuan, motif pelaku karena merasa sakit hati dengan korban karena diejek kalah usai perhitungan suara pilkada di wilayah Peunaron," kata Goenawan.

Simak: Pengumpul Sawit di Aceh Timur Ditembak Orang Tak Dikenal
Goenawan menambahkan dari identifikasi polisi, pelaku menggunakan senjata laras panjang M.16. Saat dilakukan olah tempat kejadian perkara, polisi menemukan 10 selonsong peluru, dan dua butir peluru M.16 yang belum meledak. “Sekarang polisi sedang bekerja memburu dua pelaku lainnya,” ujar Goenawan

Kondisi Juman dan Misno makin membaik setelah menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh. Juman adalah tim sukses pasangan pasangan Bupati Aceh Timur Ridwan Abu Bakar – Tengku Andul Rani, adapun untuk pilkada gubernur Juman menjadi tim sukses pasangan nomor urut 6 Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah. 

IMRAN MA

Sunday 27 December 2009

Buah Gerilya Panglima Sagoe

Unknown     23:41  
Bergerilya ke desa-desa menjaring suara, panglima Sagoe dan aktivis Sira adalah mesin kemenangan Irwandi dan Nazar dalam pilkada Aceh pada awal pekan lalu. 

Rapat itu berlangsung di sebuah rumah kecil di Muara Dua, Lhokseumawe, beberapa saat sebelum kampanye pemilihan gubernur Aceh digelar pada awal Desember.

Dua puluh anak muda meriung di lantai. Mereka adalah mantan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aktivis Sidang Istimewa Rakyat Aceh (SIRA). Agenda pertemuan malam itu membahas siasat merebut kursi gubernur dan walikota Lhokseumawe. Jelang pagi kesepakatan diketuk. Semua kader diwajibkan bergerilya ke ke desa-desa untuk menjual sang calon mereka.

Sejak saat itu anak-anak muda ini naik- turun naik gunung membina kader sekaligus merebut simpati untuk Irwandi. Taktik ini mereka terapkan di seluruh Aceh. Hasilnya? Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang dijual para panglima Sagoe unggul dalam pemilihan kepala daerah Nangroe Aceh Darusslam.

Panglima Sagoe adalah suatu struktur militer GAM—setingkat Komando Rayon Militer (Koramil) dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia. Hingga Jumat pekan lalu, Irwandi dan Nazar meraup 27 persen dari satu juta suara yang sudah masuk ke panitia pemilihan. Jumlah itu jauh di atas pasangan Humam Hamid yang duduk di posisi kedua dengan perolehan sekitar 18 persen suara.

Irwandi menang di 15 dari 21 kabupaten di Aceh. Walau jumlah suara yang belum masuk sekitar satu setengah juta, sejumlah pihak meramalkan pasangan Irwandi dan Nazar bakal keluar sebagai pemenang.

Di Lhoksumawe, Munir Usman dan Suadi Yahya yang di usung GAM juga dipastikan bakal menjadi walikota. Calon GAM juga dipastikan merebut kursi bupati di tujuh kabupaten. Jakarta seperti meriang mendengar hasil dari Naggroe.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menggelar rapat kabinet bidang politik dan kemanan. Beberapa saat sebelumnya, sejumlah lembaga yang menggelar perhitungan cepat mengumumkan keunggulan Irwandi dan Nazar. Sumber Tempo yang dekat dengan Istana menuturkan, Presiden gusar dengan kemenangan kandidat GAM.

Presiden kabarnya sempat marah karena para bawahannya selama ini selalu melaporkan bahwa kekuatan Irwandi itu kecil. ”Selama ini Presiden selalu terima laporan yang asal bapak senang,” kata sumber tersebut. Andi Maranggeng, juru bicara Presiden, membantah hal ini. ”Tidak benar Presiden marah dengan kemenangan Irwandi,” katanya Presiden Susilo, sambungnya, senang karena pilkada di Aceh berlangsung aman.

Tapi kecemasan tetap saja merebak sebab hingga kini GAM masih berdiri tegak. Karena itu mereka mendesak jika sudah jadi gubernur, Irwandi harus membubarkan GAM, yang selama ini bercita-cita memerdekakan Aceh. Irwandi, kata Muladi–Gubernur Lemba-ga Ketahanan Nasional (Lemhanas) harus membubarkan GAM jika sudah jadi gubernur. Kalau tidak mau, dia menambahkan, ”Komitmen Irwandi terhadap negara kesatuan Republik Indonesia diragukan.” Membubarkan GAM tampaknya bukan urusan gampang bagi Irwandi.

Sebab jaringan gerakan inilah yang menjadi mesin utama kemenangannya. Hampir seluruh anggota tim sukses Irwandi ditingkat propinsi juga petinggi GAM. Sofyan Dawood, juru bicara GAM, yang dulu kerap memimpin pertempuran melawan militer Indonesia, adalah penasehat dan juru kampanye Irwandi ”Saya pilihkan kandidat yang paling pantas memimpin Aceh,” pekiknya dengan lantang.

Sofjan Dawood juga amat berjasa memotong dukungan tetua GAM di Swedia untuk pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah. Sehari setelah kampanye pemilihan gubernur dimulai, Muzakir Manaf-Panglima militer GAM- menggelar siaran pers. Isinya, membatalkan dukungan untuk Humam. Dalam siaran pers itu Muzakir memang ”hanya” mengatakan bahwa pimpinan GAM menyerahkan pilihan kepada rakyat. Toh, sejak saat itu warga lapisan bawah kian leluasa menyokong Irwandi.

Di tingkat kabupaten dan kecamatan, mesin utama Irwandi adalah para panglima Sagoe. Mereka bergerilya hingga pegunungan untuk menjelaskan pentingnya memilih Irwandi dan Nazar sebagai pemimpin Aceh. Kesuksesan gerilya para panglima itu berkat sokongan penuh dari aktifis SIRA yang juga memiliki stuktur yang kuat hingga ke tingkat kecamatan.

 ”Kami mengumpulkan seluruh komisariat SIRA kecamatan mendukung pasangan ini,” ujar Abu Zar Marzuki ketua Konsulat Sira Wilayah Pasee, Aceh Utara. Sidang Istimewa Rakyat Aceh (SIRA) memang amat populer di kalangan anak muda.

Terutama, mahasiswa di seantero Aceh. Organisasi ini lahir dari kampus. Bermula dari Kesatuan Mahasiswa Aceh tahun 1998 yang menuntut 80 persen dari hasil bumi provinsi itu digunakan untuk daerah. Beberapa bulan kemudian para mahasiswa mengubah nama gerakannya menjadi Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (Karma).

Organisasi ini adalah gabungan 42 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di seluruh Aceh. Tuntutan mereka sama saja. Delapan puluh persen hasil bumi Aceh kembalikan ke Tanah Rencong. Merasa tuntutan itu tidak dipenuhi juga mereka mengancam menggelar referendum. Sejak itu, gerakan kaum muda ini berubah menjadi gerakan politik.

Mereka bergabung dengan Komite Pemuda Aceh Serantau (KNPAN) menggelar Kongres pemuda Aceh. Isinya, menuntut referendum. Kongres juga bersepakat membentuk SIRA, sebuah organisasi baru leburan dari semua kelompok gerakan. 

Muhammad Nazar, yang kini berpasangan dengan Irwandi Yusuf terpilih sebagai koordinator gerakan baru. Di bawah Nazar SIRA dengan cepat membiak. Mereka mendirikan enam ribu posko mahasiswa di seluruh Aceh.

Hampir semua penggeraknya mahasiswa dan pemuda. Nazar berkali-kali menggelar pertemuan akbar yang melibatkan massa dalam jumlah ribuan. Tanggal 8 November 1999, dia melangsungkan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum Aceh (SU-MPR), di Banda Aceh.

Sekitar 20 ribu kebih manusia tumpah di acara ini. Dua tahun kemudian kelompok ini menggelar Sidang Istimewa Rakyat Aceh (Sira-Rakan) dihadiri sekitar 25 ribu orang. Sejak saat itu Muhammad Nazar mulai berkilau dikalangan gerakan mahasiswa dan pemuda Aceh.

Ketika Irwandi Yusuf dan Muham-mad Nazar bergabung dalam perebutan kursi gubernur, sejumlah kalangan menyebut keduanya ibarat persekutuan dua partai besar. Hasilnya, mereka mampu mengalahkan calon yang diusung partai-partai politik yang pernah menjulang di Aceh. Seperti Partai Persatuan Pembangunan(PPP) dan Partai Golkar.

Bertahun-tahun gagal dengan perjuangan senjata, para panglima Sagoe ternyata mampu bermain dengan gemilang di latar politik. Dan Irwandi punbersiap melangkah ke kursi gubernur Wens Manggut (Jakarta), Eduardus Karel Dewanto dan Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran MA (Lhokseumawe)

Sembarang Tangkap Gerilyawan Peurelak

Unknown     23:38  
Para tahanan GAM cuma warga kampung biasa. Perlindungan keamanan dari ICRC dan PMI jadi "tiket" hidup mereka. AIR mata Aisyah, 30 tahun, mengucur tak terbendung.

Ibu lima anak itu cuma bisa menatap sayu Syahbali, yang tergolek ringkih di Rumah Sakit Cut Meutia, Kota Langsa, Aceh Timur, Selasa lalu. Seolah tak percaya belahan jiwanya pulang selamat, tak bosan ia membelai tubuh suaminya itu. 

Sepuluh purnama sudah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merenggut kebahagiaan mereka. Kenangan wanita hitam manis pengidap epilepsi itu pun menerawang ke bulan-bulan awal setelah Syahbali "raib". 

Pencarian ke sana-kemari tak membuahkan hasil. Tangis sedih handai-taulan siang dan malam tak mampu mengembalikan suami tercinta. Cuma doa dan harapan jadi tempat bergantung. Kenduri buat orang mati pun nyaris disiapkan.

 "Tapi para tetangga melarang," kata Aisyah kepada TEMPO. Syahbali, 40 tahun, ditangkap GAM wilayah Peurelak, Aceh Timur, pada 20 Juli tahun lalu di perbatasan Desa Matang Seuleumak dan Pulo U. 

Ketika itu ia dalam perjalanan menuju rumah warga buat menebang pohon. Ia tak punya pekerjaan tetap, kadang menebang pohon, kadang diupah memetik kelapa. 

Warga Matang Seuleumak, Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, itu tak pernah memilih majikan: order bekerja di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) ataupun di kebun kelapa sawit milik anggota TNI pun disabet. Tiba-tiba langkahnya dihentikan dua orang tak dikenal. 

"Mereka menyuruh saya naik sepeda motor," ujar Syahbali. Setelah menutup matanya dengan sehelai kain, mereka tancap gas ke daerah pegunungan, belasan kilometer dari desanya. 

Sampai di "markas" GAM, ia diberondong pertanyaan soal kedekatannya dengan TNI. Rupanya, Syahbali dituduh sebagai informan tentara yang memata-matai GAM. Tuduhan mereka tak terbukti. Tapi Syahbali tetap ditawan. Puluhan kali ia diajak berpindah tempat tanpa tahu letaknya secara pasti. Hanya hutan dan pohon-pohon raksasa yang tertangkap mata. Hari demi hari terlewati bersama dua sampai tiga tentara GAM yang menjaganya. 

Tidur beralas plastik atau di ayunan yang tertambat di dua batang pohon. Obat nyamuk bakar tak lupa disulut. "Tak ada penyiksaan. Apa yang mereka makan, itu juga yang saya makan," tuturnya. Selama ditawan, belum pernah ia bertemu Panglima GAM wilayah Peurelak, Teungku Ishak Daud, ataupun tahanan lain. 

Meski bergaul berbulan-bulan dengan gerilyawan GAM, belum pernah Syahbali mendengar daerah asal ataupun keluarga mereka. Sampai pada 15 Mei silam, Syahbali diajak "pengawal"-nya hengkang dari lokasi karena ada kabar TNI bakal menyerang. Ia kembali melakoni perjalanan dari bukit ke bukit. Esok harinya, mereka berhenti di Desa Lhok Jok, Kecamatan Peudawa Rayeuk, Aceh Timur. 

Di tempat itulah "kisah petualangan"-nya bersama GAM berakhir. Kelompok penuntut kemerdekaan Aceh itu menyerahkannya kepada negosiator dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan Palang Merah Indonesia (PMI). Sehari sebelumnya, ICRC dan PMI menerima 22 warga yang semula meminta perlindungan ke GAM. 

Di situ Syahbali baru bertemu dua tahanan lainnya: kamerawan RCTI Ferry Santoro dan Mustafa, 30 tahun, warga Desa Tempok Dalam, Kecamatan Nurussalam. Mustafa dicokok GAM sehari sebelum Syahbali, di Desa Bantayan. Tukang ojek itu tak tahu pasti kenapa GAM menahannya. "Mungkin karena saya sering mangkal di kantor Koramil Bagok, Kuta Binje," ujarnya. Suami Sawiyah, 24 tahun, itu merasa "nyaman" selama jadi tahanan. 

GAM tak pernah memukul, paling-paling sering berpindah tempat lantaran menghindari serangan TNI. "Kan enak di sini, bisa gemuk," kata Mustafa menirukan penuturan seorang gerilyawan GAM. Rabu lalu ia pulang ke kampungnya, diantar sejumlah tetangganya dan petugas PMI. Sudah tak kerasan ia di tempat penampungan sementara, ingin segera bertemu anaknya yang baru berumur setahun ketika ditinggalkan. 

Ada ratusan orang di penampungan sementara di Gedung Pramuka, belakang kantor Koramil Kota Langsa. Cuma beberapa yang bisa disebut tahanan GAM. Sisanya: pencari suaka, keluarga tahanan yang mau menjemput, dan warga yang tertipu oleh isu pengobatan gratis. Jumlah mereka terus menyusut karena secara bergelombang dipulangkan ke desa masing-masing. 

Selasa lalu, PMI memulangkan 14 orang ke Kecamatan Peurelak. Esok sorenya 10 orang lagi diantar ke desa-desa di Kecamatan Nurussalam, Idi Cut, dan Idi Rayeuk. Lalu, Kamis sekitar pukul 16.00, 139 orang dikumpulkan di kantor Kecamatan Peudawa. Sebanyak 103 orang disuruh pulang sendiri ke desa masing-masing, sisanya diperiksa di Markas Polres Aceh Timur karena dituduh terlibat gerakan separatisme. 

Namun, 103 orang itu malah menolak pulang sambil menangis menggerung-gerung. Mereka memilih dianggap terlibat GAM dan diadili ketimbang dibiarkan sendirian pulang kampung. Mereka mau pulang kalau diantar ICRC dan PMI, sebagai pihak yang dipercaya GAM menerima mereka. "Mereka takut pulang," kata Kepala Polres Aceh Timur, AKBP Ilrsanuddin. 

Ketakutan mereka memang beralasan. GAM mau melepaskan para tahanan dan pencari suaka karena ada jaminan perlindungan dari ICRC dan PMI. GAM sendiri, sebetulnya, merasa kerepotan jika mesti bergerilya bersama warga sipil. Pernah pada awal darurat militer, GAM membebaskan Jamaluddin, 27 tahun, warga Simpang Ulim, Kecamatan Pante Bidadari, Aceh Timur. 

"Sampai di desanya, Jamal dijadikan informan TNI, lalu hilang," ujar Teuku Cut Kafrawi, juru bicara Ishak Daud. Posisi mereka memang serba salah. Dulu, mereka terpaksa minta perlindungan kepada GAM karena takut dikejar TNI yang menuduh mereka antek GAM. 

Kini, setelah lepas dari perlindungan GAM, lebih mudah lagi bagi aparat memberi mereka stempel "pro-GAM". Contohnya Hamid?bukan nama sebenarnya?yang berlindung ke GAM sejak enam bulan silam. Warga Kecamatan Peurelak Barat berusia 54 tahun itu dituduh menyembunyikan anggota GAM. Ia mengaku sedang tak di rumah ketika anggota GAM yang akan menyerahkan diri itu datang. 

Tapi tentara di pos marinir di desanya tak percaya, dan tetap menggebukinya. Masalah rupanya belum tuntas, karena tentara terus mencari dia. Merasa tak aman, ia pun "lari". Begitu pula Arief?juga nama samaran. Ayah dua anak itu dituduh membantu GAM sejak darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam. 

Bahkan namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) di pos militer kawasan Desa Paya Gajah, Peurelak. Hampir tiap malam tentara menyambangi rumahnya buat menginterogasi. Merasa terancam, ia meninggalkan kegiatan bertani tambak, lalu minta pengayoman ke GAM. 

"Saya sampai menangis ketika seorang panglima GAM menolak melindungi," ujar pria 35 tahun itu, Rabu lalu. Akhirnya, GAM menerima Arief. Tapi, pada 8 Mei silam, GAM memintanya "turun" karena ICRC bakal menjemput sekaligus melindungi keselamatannya. Ia langsung setuju, apalagi mendengar kabar istrinya mendapat perlakuan kasar dari aparat.

 "Tapi saya tak mau pulang kalau tiada jaminan keamanan dari ICRC," tuturnya. Lepas dari GAM bukan berarti masalah jadi beres. Selain soal keamanan, kesulitan ekonomi dan sosial sudah menunggu. 

Pun Syahbali cuma tercenung menatap hari depan lantaran tak ada yang bisa dikerjakan selepas dari tawanan GAM. "Istri saya bilang, beras pun tak ada di rumah," ujarnya dengan wajah kusut. 

Jobpie Sugiharto dan Imran M.A. (Langsa)

Kalah Start Ditikam Jejaknya

Unknown     23:32  
Andil besar Jusuf Kalla dalam perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh tak otomatis berimbas pada dukungan. Kendala mesin politik dan logistik. 

Kepala sekretariat tim pemenangan calon presiden Jusuf Kalla dan calon wakil presiden Wiranto Sulawesi Tengah, M. Iqbal Andi Maga, sering uring-uringan. Usai pencontrengan, Rabu pekan lalu, Iqbal tak mau lagi menonton televisi. 

Ia mengaku, setiap kali menyalakan televisi yang dilihatnya perolehan suara JK-Wiranto yang jeblok, tensi darahnya langsung naik. ”Ini di luar perkiraan. Sungguh mati!” kata Iqbal kepada Tempo, Jumat pekan lalu. 

Seluruh tim pemenangan JK-Wiranto di Sulawesi Tengah pun, menurut Iqbal, masih tak percaya JK kalah. Sulawesi Tengah sudah seperti kampung sendiri bagi JK. Apalagi ia berjasa besar bagi rakyat di sana karena perannya meredam konflik SARA di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun silam. 

Tim pemenangan, kata Iqbal, bahkan menargetkan 60 persen dari 1,7 pemi­lih di Sulawesi Tengah bakal mencontreng JK-Wiranto. Tak hanya Sulawesi Selatan, JK-Wiranto memang menggarap Sulawesi Tengah, Maluku, dan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lumbung suara di pemilu presiden. 

Dukungan di tiga daerah itu mestinya besar karena, ”JK punya andil besar dalam proses perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh,” kata wakil ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahrul Rozi. Hitungan tim sukses JK-Wiranto, di Poso dan Ambon bisa menang, sementara di Aceh berimbang dengan SBY. ”Di Aceh kita pun optimistis bisa 60 persen,” kata ketua tim pemenangan JK-Wiranto Fahmi Idris. 

Tapi, nyata­nya, perolehan suara dalam pemilu presiden 8 Juli 2009 tak menggembirakan. Hitung cepat Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, misalnya, menyatakan JK-Wiranto kemungkinan hanya beroleh 34,08 di Sulawesi Tengah, 17,99 persen di Maluku, dan 4,46 persen di Aceh. 

Sementara SBY-Boediono 57,45 persen di Sulawesi Tengah, dan 63,72 persen di Maluku, dan 90,97 persen di Aceh. Iqbal mengakui, terbuai tren popularitas dan elektabilitas JK yang terus menanjak, timnya jadi terlalu percaya diri jagoan mereka bakal lolos ke putaran kedua.

 Akibatnya, tim sukses tak ngotot bekerja di Sulawesi Tengah. Dana pun tak banyak digelontorkan. ”Asumsinya, (logistik) dihemat untuk kampanye putaran kedua nanti,” kata Iqbal. 

Blunder kedua, kata Iqbal, adalah reaksi berlebih masyarakat Sulawesi Selatan menanggapi isu SARA yang dilontarkan Ketua Partai Demokrat Andi Mallarangeng. Reaksi itu justru kontraproduktif. Akibatnya—serasa menguak luka lama bagi rakyat Poso—ketika isu Bugis-isme itu mengental, semua jadi buyar. 

 Sedangkan di pihak SBY-Boediono, tim suksesnya bekerja all out. Bagi mereka, Poso harus direbut dari JK. Sekretaris tim pemenangan SBY-Boediono Sulawesi Tengah, Henry Kawulur, mengatakan timnya gencar menyuarakan perdamaian Poso adalah kerja tim di bawah SBY sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu. 

”Terbukti pemilih makin cerdas, tak mau terjebak secara emosional,” ujarnya. Di Maluku, SBY-Boediono juga tak tertandingi. Menurut ketua tim sukses SBY-Boediono Maluku, Elwen Roy Pattiasina, timnya telah mengkampanyekan SBY for President sejak pemilu legislatif. Sejumlah bupati di provinsi seribu pulau ini pun terlibat langsung dalam tim SBY-Boediono. 

Tak lupa dalam mendongkrak dukungan tim sukses juga menjual isu perdamaian. ”Terbukti, selama lima tahun pemerintahan (dipimpin SBY), Maluku betul-betul kondusif,” kata Elwen. Sedangkan Jusuf Kalla, yang besar perannya mendamaikan konflik di Ambon, tak kebagian banyak. JK kalah start, dan mesin politiknya pun tak mampu mengimbangi lawan. 

Aceh lebih mengagetkan lagi. Prediksinya, JK dan SBY—dwitunggal yang dianggap berjasa bagi perdamaian Aceh—bakal berbagi suara. Ternyata, hasilnya begitu jomplang. Perhitungan Komisi Independen Pemilihan Aceh, per Jumat pekan lalu, SBY-Boediono beroleh 93,02 persen dan hanya menyi­sakan 4,55 persen untuk JK-Wiranto. Koordinator wilayah Aceh tim pemenangan SBY-Boediono, Ahmad Farhan Hamid, pun mengaku tak habis pikir. ”Saya juga terkejut bisa sampai 90 persen, perkiraannya paling 70-80 persen,” kata Farhan. 

Menurut dia, penetrasi tim JK-Wiranto sangat kuat. Apalagi JK secara khusus berkampanye di Aceh dan bertandang ke markas Partai Aceh, sementara SBY tidak. Namun, kata Farhan, timnya berhasil membalikkan arus dukungan JK kembali kepada SBY. ”Ada pendekatan kepada elite Aceh, terutama eks Gerakan Aceh Merdeka, pada satu-dua hari menjelang pencontrengan,” kata Farhan. 

Ia menilai orang Aceh melek politik sehingga mereka memilih SBY-Boediono, yang peluang menangnya lebih besar. ”Mereka ingin menunjukkan kontribusi (ke SBY),” kata dia. Kegagalan JK-Wiranto karena gagal memegang komitmen dukungan riil Partai Aceh partai lokal yang ”berkuasa”. 

”Di Aceh itu, siapa yang memegang Partai Aceh, dialah yang bakal menang,” kata Fahrul Rozi. Ia menduga peta pemilu presiden tak berbeda dengan pemilu legislatif. Di pemilu legislatif, Partai Aceh dengan Demokrat bekerja sama supaya menang dalam pemilu. Di tingkat lokal mereka berkampanye untuk memenangkan Partai Aceh, sementara tingkat nasional untuk Partai Demokrat.
 

Hasilnya, untuk DPR Aceh mayoritas dikuasai Partai Aceh, sementara DPR pusat mayoritas untuk Demokrat. ”Sekarang mereka bersama memenangkan (SBY-Boediono),” kata dia. Ketua Partai Demokrat Aceh yang juga ketua tim kampanye daerah SBY-Boediono, Nova Iriansyah, mengakui peran Partai Aceh. Hampir semua ka­der Partai Aceh di tiap kabupaten/kota bekerja untuk SBY-Boediono. ”Tapi itu personal, bukan kelembagaan partai,” kata Nova. 

Semua lini dikuasai SBY-Boediono. Tak cuma Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Bersatu Atjeh, Partai Aceh Aman Sejahtera, dan Partai Daulat Atjeh juga merapat. Bahkan Gubernur Irwandi Yusuf dan wakilnya, M. Nazar, terlibat sebagai dewan pakar tim SBY-Boediono di Aceh. Belum lagi 19 partai nasional yang tergabung dalam koalisi. Juru bicara Partai Aceh, Adnan Beu­ransyah, mengatakan partainya­ netral. 

”Tidak etis mendukung salah satu,” kata Adnan. Alasannya, partai­ serba salah mau memilih SBY ataukah JK, yang sama-sama berjasa dalam perdamaian Aceh. Tak ada instruksi partai meski di lapangan banyak kader gabung dengan SBY-Boediono. 

Ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahmi Idris, mengatakan salah satu penggerus dukungan JK-Wiranto di Po­so, Ambon, dan Aceh adalah tak optimalnya mesin partai dan keterbatasan logistik. ”Apalagi rival menggunakan taktik 'menikam jejak' (SBY-Boediono menyusuri track kampanye JK-Wiranto untuk merebut pemilih),” kata Fahmi. 

Menurut dia, ”menikam jejak” adalah taktik biasa dalam politik, sayangnya pihaknya kalah bekal. ”Kalau dana kita besar, kan kita bisa menyusur balik ke sana (untuk merebut kembali),” kata Fahmi. Selain itu, ia menduga banyak terjadi kecurangan. 

Ipang Wahid, konsultan politik yang menggarap advertasi JK-Wiranto, mengaku sulit menyampaikan keunggulan JK sampai ke masyarakat bawah dalam waktu singkat. ”Pak JK luar biasa tapi memang orang masih lebih suka yang presidential look,” kata Ipang. 

Agus Supriyanto (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhok Seumawe), Darlis Muhammad (Poso), Mochtar Touwe (Ambon)

Saturday 15 September 2007

Tentang Pertemuan Helsinki

Unknown     04:27  
Giliran Prajurit dan Rakyat Angkat Bicara [2]
Reporter: Ary & Misrie - NAD, 2005-02-24 12:41:28 
Para prajurit saja mengaku kelelahan hidup lama dalam kondisi carut marut, apalagi rakyat sipil yang selalu terhimpit dalam pertarungan dua pihak yang bertikai ini. Usman, seorang tukang becak di Kota Lhokseumawe sangat berharap kedamaian segera bersemai di Aceh. 
Bagi dia, perundingan yang digagas para pihak yang bertikai bisa segera menyemai damai. “Perundingan itu suatu langkah yang baik, tetapi jangan lagi seperti dulu yang gagal, dan akhirnya kita juga yang melarat,” ujar Usman. 
Dia memang sedang mengomentari pertemuan informal antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang sudah dua kali digelar di Helsinki, Finlandia, akhir Januari dan Februari lalu. Lain lagi pendapat Yunus, seorang nelayan asal Tanah Pasir yang berharap agar perundingan ini dapat mengurangi jumlah pasukan TNI di desanya.
“Jika ada TNI di gampong-gampong (kampung) ada saja yang disalahkan. Jadi biar saja, nggak ada TNI kami juga tidak pernah diganggu oleh GAM,” katanya serius. Yunus sendiri mengaku tidak mengikuti pemberitaan tentang jalannya perundingan damai ini. 
Dia juga mengaku tidak tahu, bahwa salah satu permintaan delegasi GAM adalah penarikan pasukan TNI dari Aceh. Ini berbeda dengan Saiful, seorang pegawai negeri sipil di Aceh Utara, yang lebih memperhatikan jalannya dialog lewat berita-berita media. 
Menurutnya, pertemuan yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) ini merupakan langkah maju yang dicapai kedua belah pihak, setelah perundingan sebelumnya (CoHA) mengalami kegagalan. Dia berharap, perundingan kali ini bisa menimbulkan rasa saling memahami dan saling menghargai satu sama lain. 
“Jadi mereka juga harus memahami bahasa–bahasa itu secara akurat. Ketika dipublikasikan, jangan masyarakat yang bingung. Ini sepertinya apa...” ujar Saiful tak meneruskan kalimatnya. Dia memang mengaku agak bingung memahami bahasa-bahasa diplomatik yang kerap dikutip media massa dalam memberitakan pertemuan Helsinki. 
Namun ia menambahkan, saat itu yang diperlukan masyarakat adalah ketenangan dan kedamaian. “Mereka jangan lagi dipukul dan ditangkap. Bahkan sekarang seperti kita dengar di pedalaman, ada yang tidak salah pun harus menyerah. Banyak kejadian seperti itu,” tambahnya. 
Pendapat orang Aceh memang beragam. Ketika secara acak acehkita menemui Ibrahim, seorang warga Seunundon yang berprofesi sebagai nelayan, dia malah menduga pertemuan Helsinki akan berakhir dengan semakin banyaknya pihak asing yang datang ke Aceh. 
“Saya menginginkan dapat melahirkan keputusan agar pihak asing dapat hadir di Aceh,” ujarnya polos. Ketika ditanya apakah ini berkaitan dengan peluang mendapat rezeki daripada alasan politis, Ibrahim menggeleng cepat. 
“Kalau ada orang asing, kekerasan bisa berkurang,” katanya dalam bahasa Aceh.
Warga di pengungsi Kecamatan Seunundon, Aceh Utara dan kamp pengungsian Rumah Sakit Cut Meutia, Lhokseumawe rata-rata memang menginginkan agar dialog antara TNI dan GAM, dapat mengurangi rasa takut mereka. 
“Sekarang tiap malam ada operasi ke desa-desa. Kalau ada di kampung, mereka memanggil dan menanyakan macam-macam. Kalau jawaban tidak sesuai dengan keinginannya, kita dipukul,” ujar seorang warga Teupin Kuyun, Aceh Utara. 
Ketakutan mereka bukannya tanpa sebab. Hari Senin, 14 Februari lalu, beberapa warga Desa Matang Lada mengaku mengalami tindak kekerasan oleh pasukan pemerintah. “Pokoknya kami sangat was-was pulang kampung,” sambung warga lainnya. 
Pria yang sudah menginjak usia 50 tahun dan menolak namanya ditulis itu, berharap, agar perundingan Helsinki bisa menghapuskan wajib lapor di desanya. Dia sendiri mengaku tidak mengetahui ada perundingan itu. Tetapi, setelah mendengar sekilas, harapan pun dimunculkan. 
“Sejak mulai darurat (militer) hingga sekarang, seluruh warga Matang Lada, Teupin Kuyun, Meunasah Sagoe, Ule Rubek dan Blang Geulumpang diwajibkan untuk melapor setiap 15 hari sekali ke pos TNI. Kalau tidak, jika kedapatan, kami akan dipukul,” katanya. 
Pun begitu, tentu ada warga yang berharap sebaliknya. “Jangan dicabut darurat (sipil), Pak, nanti mereka merajalela lagi,” kata seorang ibu pemilik warung di sebuah kecamatan di Aceh Timur. 
Yang dimaksud “mereka” adalah Gerakan Aceh Merdeka. Ibu yang kehilangan seorang anaknya karena dibunuh gerilyawan dengan tuduhan sebagai mata-mata aparat ini, memang tak mengerti ihwal pertemuan Helsinki. 
Ketika ditanya, dia mengira perundingan damai berarti pencabutan status darurat. “Saya sudah senang di sini banyak aparat. Saya tak tahu harus bagaimana lagi kalau mereka tidak ada,” katanya. “Tapi anak-anak saya yang perempuan memang saya larang sering-sering bergaul dengan mereka,” tandasnya. [tamat/dan]

Rumah Juru Bicara GAM Digranat

Unknown     02:44  
Rumah Juru Bicara GAM Digranat
 
Minggu, 29 April 2007 14:30 WIB
TEMPO Interaktif, Lhokseumawe: Rumah juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA/GAM) wilayah pusat, Sofyan Dawood, di Jalan Batee Timoh, Desa Panggoi, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, dilempari granat oleh orang tak dikenal pada Ahad (29/4) sekitar pukul 03.10 waktu setempat. 
Akibat ledakan itu, kaca depan rumah hancur terkena serfihan granat. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Rumah yang dilempari granat itu milik Ajirni (27 tahun), istri pertama Sofyan Dawood. Rumah ini dihuni oleh enam orang yang terdiri dari dua anak Sofyan-Ajirni, ibu kandung Sofyan, dan dua keluarganya.
Ledakan menjelang Subuh itu mengejutkan para penghuni rumah yang sedang tertidur pulas. Sejumlah warga di sekitar rumah itu bangun karena terkejut mendengar ledakan. 
"Warga di sekitar ikut bangun," kata Ajirni.Dalam kondisi panik itu Ajirni langsung memeluk erat kedua anaknya dan ibu kandung Sofyan. "Saya terkejut dan terbangun dari kamar. Tiba-tiba asap tebal sudah mengepul di depan rumah," kata dia. 
Ajirni mengaku langsung menghubungi suaminya yang sedang berada di Jakarta.Sebelum terjadi ledakan, kata Ajirni, rumahnya kerap didatangi orang tak dikenal sejak tiga bulan silam. Dia menakut-nakuti Ajirni dan penghuni lainnya melalui jendela.
"Tapi, setiap saya tengok orang itu hilang," katanya. Sofyan Dawood sendiri belum bisa dihubungi terkait pelemparan granat di rumahnya. Telepon seluler yang biasanya aktif, tidak bisa dihubungi. 
Sementara itu, Kepala Bagian Opersional Polres Kota Lhokseumawe Ajun Komisaris Nowo Hadi Nugroho membenarkan telah terjadi ledakan granat di rumah Sofyan Dawood. Sejauh ini polisi belum mengetahui jenis granat. Imran MA

Dikira Bom, Ternyata Kado Sweet 17 dan Puisi

Unknown     02:09  
Selasa, 14 Agustus 2007 18:33 WIB

TEMPO Interaktif, Lhokseumawe: Rumah Sekretaris daerah Kabupaten Aceh Utara Ir Nasrullah Msi mendadak tegang, menyusul kehadiran kardus mie instan yang diduga berisikan bom yang diletakkan di sudut pagar pada pukul 22.00, Senin (13/8).

Seluruh anggota polisi dan pasukan penjinak bom terjun kelokasi, ternyata kado ultah anak keduanya.Kardus tersebut diletakkan dua perempuan yang mengenderai sepeda motor di rumah yang di Jalan Blang Malo Gang Karya Tani, Desa Hagu Teungoh, Kecamatan Banda Sakti Lhokseumawe.

Kedua perempuan turun dari sepeda motor, salah satunya memanjat pagar dan meletakkan kardus di sudut pagar dalam pekarangan.Ternyata aksi dua perempuan itu mengundang perhatian tetangga, tanpa membuang setelah kedua pelaku pergi meninggalkan lokasi, tetangga sekretaris daerah Kabupaten Aceh Utara itu langsung mengabari istri dari Ir Nasrullah.

Informasi tentang benda aneh itu cepat melebar sampai ketelinga anggota kepolisian Lhokseumawe, hanya berselang anggota polisi mengamankan tempat kejadian sambil berkoordinasi dengan pasukan penjinak Bom dari Brimobda Kompi 4 Jeuleukat.

Warga sekitar dan anggota Koramil kecamatan Banda Sakti, serta aparat TNI dari Kodim 0103 Aceh Utara tidak berani mendekat, semuanya berlangsung tegang. Ketegangan itu mendadak meriah saat Muhammad Aris (17) anak kedua dari Ir Nasrullah keluar dari rumah mengambil kardus yang sejak tadinya dianggap berisikan bom, dan dibuka.

Ternyata di dalamnya berisikan bola basket dan sejumlah puisi serta ucapan selamat ulang tahun ke 17 untuknya.Pasca itu, semua warga tidak bisa menahan tawa, termasuk dandim 0103 Aceh Utara Letkol Infanteri Yogi Gunawan yang setadinya sudah berada di lokasi.

"Macam -macam saja anak-anak, bikin repot saja, maaf semuanya sudah merepotkan," Ujar Ir Nasrullah meminta kepada sejumlah parat kemanan dan warga sekitar.

Pada kesempatan itu dandim 0103 Aceh Utara Letkol Infanteri Yogi Gunawan juga meminta kepada masyarakat untuk menjaga perdamaian yang sudah berlangsung selama 2 tahun, serta dapat memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke 62 dengan suasana tenang dan damai.

IMRAN MA

Pusaran Itu Merenggut Keceriaan Lebaran

Unknown     00:29  
Koran TEMPO Sabtu, 20 November 2004

Pusaran Itu Merenggut Keceriaan Lebaran
 
Siang itu, dua ratusan warga begitu sibuk. Semua mata memandang ke arah Sungai Arakundo di Desa Pante Gaki Balee, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Dua buah speed boat milik Batalion Infanteri 7 Marinir menghidupkan mesin. 

Sejumlah personelnya sudah siap di dalamnya, lengkap dengan pelampung di badan. Dalam hitungan menit, perahu itu memutar haluan dan menyisir Sungai Arakundo. 
Ratusan warga, Kamis (18/11) itu, memang berharap pada kegigihan prajurit marinir. Maklum, sejak Selasa (16/11/2004), tiga warga yang tewas tenggelam di sungai sedalam 15 meter itu belum ditemukan mayatnya. 

Ratusan warga selama tiga hari terus menyusuri sekitar lokasi tenggelamnya Nurmala, 18 tahun, Firdaus, 4 tahun, dan Atifurrahmi, 18 tahun. Ketika itu, mereka baru saja pulang dari acara Lebaran di Desa Buket Kareung bersama Ridwan, 30 tahun, dan Mulyana, 18 tahun. 
Mereka berlima kembali dari rumah saudaranya sekitar pukul 11.00, lalu menyeberangi sungai dengan sampan tua yang sudah tersedia. Setelah semua naik, sampan langsung berangkat. Namun, malang tak bisa ditolak. Baru lepas sekitar 4 meter dari tepi sungai, air pusaran menghadang sampan hingga sedikit berputar. Karena kaget, Firdaus bangun dan menangis ketakutan. Kondisi sampan yang oleng membuat Atifurrahmi, sang kakak yang duduk di belakang, pun bangun dengan maksud mengambil sang adik. 
Namun, sampan tidak lagi terkendali hingga semua terempas ke dalam sungai yang dalamnya 15 meter itu. Upaya untuk menolong dilakukan warga, namun Nurmala, Firdaus, dan Atifurrahmi cepat tenggelam dibawa pusaran air. Beruntung, Ridwan dan Mulyana bisa selamat dengan berpegangan pada potongan kayu yang kemudian ditarik warga lain. 
Kabar tenggelamnya tiga remaja itu cepat tersebar ke seluruh Desa Buket Kareung dan Pante Gaki Balee. Warga pun segera menyisir sepanjang sungai. Karena medan yang berat, mereka meminta bantuan pasukan TNI dari Yonif 7 Marinir, dan dua speed boat pun diterjunkan. Sejak Rabu (17/11), beberapa anggota marinir melakukan penyelaman, namun karena derasnya air di bawah dan kayu-kayu besar yang mengganjal, pencarian itu tak membuahkan hasil. 
Pencarian dilanjutkan Kamis. Kali ini unsur gaib dimainkan. Salah satu komandan marinir yang terjun berembuk di darat dan memanjatkan doa agar jasad ketiga remaja cepat ditemukan. Dengan kepercayaan bahwa bunyi senjata bisa menjadi cara mujarab mengusir makhluk halus, atas izin warga dan kepala desa setempat, dua peluru dimuntahkan ke dalam air. Tidak lama kemudian, warga melihat sesosok mayat mengapung, tidak lain adalah Atifurrahmi. 
Speed boat yang sudah disiapkan segera meluncur ke tengah sungai dan mengangkat mayat yang sudah lama dinanti kemunculannya. Jasad Atifurrahmi disemayamkan di rumah terdekat, kemudian dibawa pulang keluarganya dengan bantuan mobil Palang Merah Indonesia Ranting Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara. Sementara itu, mayat Nurmala dan Firdaus, hingga kemarin belum diketemukan. 
Sungai Arakundo yang bermuara ke Kuala Malihan, Kecamatan Simpang Ulim, bukan kali ini saja merenggut nyawa. Hampir tiap tahun, dua sampai tiga orang tenggelam. Pada 2003 lalu, seorang santri murid pasantren di Kecamatan Langkahan juga tenggelam dan hingga kini belum diketemukan jasadnya. 
Pada tahun itu, seorang keluarga Mulyana juga tewas tenggelam. Jatuhnya korban itu terus terjadi sejak jembatan gantung yang berada di Desa Teupin Bate, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur, dirobohkan gerombolan tak dikenal pada tahun 2000 silam. 
Warga sekitar sungai di daerah perbatasan Aceh Timur dan Aceh Utara ini memang lebih suka menyeberang Sungai Arakundo dengan sampan kecil bila hendak ke kebun, karena mempersingkat waktu perjalanan. Jalan pintas menggunakan sampan sangat mudah mencapai pasar, sementara untuk menempuh jalur darat memerlukan waktu 45 menit. 
Kini, warga mengharapkan dibangunnya kembali jembatan gantung di atas sungai. Permohonan kepada pemerintah daerah telah disampaikan warga sejumlah desa di daerah itu. Oktober lalu, ketika Gubernur Aceh Abdullah Puteh datang ke Kecamatan Simpang Ulim, warga kembali memohon agar pemerintah daerah merampungkan Jembatan Teupin Bate. 
Namun, hingga sekarang belum tampak ada realisasinya. Mungkin akan ada korban lain menyusul Nurmala, Firdaus, dan Atifurrahmi. imran ma

Friday 14 September 2007

Mengambil Ranting, Bukan Dahannya

Unknown     03:39  
Mengambil Ranting, Bukan Dahannya Majalah TEMPO Edisi. 18/XXXIV/27 Juni - 03 Juli 2005 Rubrik : Hukum- Mengambil Ranting, Bukan Dahannya 
Untuk pertama kalinya hukuman cambuk dilaksanakan di Aceh. Jaksa menerima duit. DARI pengeras suara di lapangan Masjid Agung Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, terdengar suara: "Kita panggilkan terpidana Zakaria bin Yusuf.…" Selang sejenak, tampillah sesosok pria bertubuh ceking, dibalut jubah putih tipis, naik perlahan ke podium berukuran sekitar 36 meter persegi. Ratusan penonton lelaki-perempuan—anak-anak juga—siap menyaksikan "pertunjukan" tidak biasa, Jumat siang pekan lalu itu. 
Zakaria, pria 60 tahun itu, berdiri di podium dengan wajah terkulai. Bersama 14 lelaki lain, usai salat Jumat hari itu, ayah lima anak ini akan menerima hukuman yang baru akan diperkenalkan di negeri ini: dicambuk di depan umum.

 Seorang pria berjubah hijau naik ke panggung. Sekujur kepalanya, kecuali mata, ditutup kain hijau juga. Beliaulah "algojo" yang akan mendera Zakaria. Akhir Mei lalu, Zakaria divonis Mahkamah Syar'iyah Bireuen—sekitar 
 kilometer dari Banda Aceh—hukuman enam kali cambukan. Ia dinyatakan melanggar Qanun (peraturan daerah) No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi). Itulah pertama kalinya pengadilan di Aceh menjatuhkan hukuman cambuk bagi kaum muslim yang melanggar hukum syariah setelah provinsi itu resmi menjalankan syariat Islam pada Maret 2003. 
Zakaria ditangkap ketika bermain poker (judi kartu) di Desa Pulo Kiton, Bireuen, akhir Februari lalu. Menurut pengakuannya, lantaran tak ada pekerjaan, bersama enam rekannya sesama buruh bongkar-muat mereka bermain poker, menggelar lapak di sebuah kebun kosong. "Modalnya Rp 4.500, untuk hiburan saja," kata Zakaria. 
Ketika mereka lagi asyik-asyiknya membanting kartu, serombongan polisi datang menyergap. Para pejudi kecil-kecilan itu tak sempat kabur. Mereka pun diangkut bersama barang bukti, antara lain uang kertas dan recehan sejumlah Rp 45 ribu. Begitu ceritanya. 
Kini, di atas panggung itu, usai pembacaan kesalahan dan hukuman Zakaria, seorang jaksa menyerahkan cambuk kepada algojo, yang tak lain anggota wilayatul hisbah—alias polisi syariah. Terdengar aba-aba dari pengeras suara, "Satu.…" Dan berbarengan dengan itu, sang algojo melecutkan cambuknya ke punggung Zakaria. 
Cambuk yang dipakai berwujud rotan sepanjang satu meter dengan diameter sekitar 0,75 sentimeter, seukuran jari tangan. Setiap kali batang rotan itu mendarat di punggung Zakaria, warga Desa Pulo Kiton, Bireuen, itu meringis. Dan setiap kali algojo melecutkan rotannya—dengan ayunan tak lebih dari setinggi lengan—terdengar teriakan tertahan sejumlah penonton, terutama di sekitar "ring side". 
Eksekusi itu berlangsung cepat, tak sampai semenit. Begitu eksekusi usai, Zakaria membungkuk dan sejurus kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak ada luka berarti di tubuhnya selain tanda guratan merah seperti bekas kerokan. 
Menurut Peraturan Gubernur Aceh No. 10/2005, hukuman cambuk memang tak boleh melukai si terhukum. Algojo yang menjalankan eksekusi juga dilarang memukul anggota vital seperti kepala, kemaluan, dada, dan leher. Ketika eksekusi, satu tim dokter disiagakan untuk memberi pertolongan jika ada yang terluka. 
Begitu turun dari podium, Zakaria disambut pelukan Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Azwar Abubakar, dan Bupati Bireuen, Mustafa Geulanggang. Mustafa menyerahkan sebuah bingkisan, antara lain berisi sajadah dan Al-Quran, kepada Zakaria. Cemoohan penonton terdengar keras ketika Zakaria meninggalkan lapangan dan "digiring" petugas ke belakang Masjid Bireuen. 
Setelah Zakaria, giliran 14 terhukum lain mendapat hukuman serupa. Mereka berasal dari tiga kecamatan: Gandapura, Peusangan, dan Jeumpa. Seperti Zakaria, mereka divonis Pengadilan Syariah Bireuen hukuman cambuk enam sampai delapan pukulan. 
Siang itu sebenarnya ada 26 terhukum yang akan "dilecut". Namun, 11 di antaranya dibatalkan atas permintaan dokter. Kondisi tubuh mereka dianggap tidak cukup sehat untuk menerima hukuman. Peraturan memang mengizinkan hal ini: mereka yang tak sehat bisa meminta penundaan hukumannya. 
Sempat juga terjadi beberapa insiden ketika eksekusi dilakukan. Rusli bin Bransah, warga Bireuen yang dicambuk lantaran tertangkap saat membeli togel, dilarikan ke rumah sakit begitu selesai dicambuk. "Dia mengaku pusing dan matanya berkunang-kunang," ujar seorang dokter yang memeriksa Rusli. 
Seorang terhukum lainnya, Ridwan, bahkan sempat membuat terkejut se-jumlah pejabat yang mengikuti prosesi hukuman itu. Usai mendapat ganjaran enam cambuk, dengan wajah memerah Rid-wan menghampiri jaksa Erwin Nasution, yang berdiri di sudut podium. Tangannya menunjuk-nunjuk Erwin. Polisi Syariah langsung menyambar pria yang dihukum lantaran tertangkap tangan bermain judi itu dan menyeretnya turun dari podium. 
Ridwan rupanya kesal. Pria ini mengaku sudah menyerahkan uang Rp 800 ribu kepada Erwin dengan imbalan jaksa itu akan melepasnya. Transaksi kecil-kecilan ini terjadi ketika ia mendekam di tahanan Bireuen, sekitar sebulan lalu. Menurut Ridwan, ketika itu jaksa Erwin berjanji membebaskan mereka asal menyetorkan sejumlah uang. 
Bersama enam rekannya, Ridwan setuju dan mereka pun masing-masing menyetor uang Rp 800 ribu untuk Erwin. Setelah setoran diberikan, mereka memang kemudian mendapat status tahanan luar. Tapi, hukuman cambuk ternyata jalan terus. 
Jaksa Erwin sendiri mengaku menerima uang dari para pejudi dan penggemar togel itu. Jumlahnya, katanya, Rp 3 juta. "Itu hanya uang terima kasih, tidak terkait keputusan perkara," katanya. Tapi, menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Soehandojo, ulah Ridwan ini merupakan bentuk pelanggaran tugas seorang jaksa. "Jaksa tidak mengenal uang terima kasih," katanya. 

Kejaksaan Tinggi Aceh, kata Soehandojo, harus mengusut kasus "duit terima kasih" ini. Ridwan mengatakan ia mengeluarkan uang dengan tujuan tak dicambuk di depan umum. "Bukan jumlah cambukannya, tapi malunya ini yang tak tahan," katanya. "Apalagi ini yang pertama kali di Aceh. Pasti orang datang seperti menonton sirkus." 
Perasaan yang sama juga diungkapkan Zakaria. "Saya malu ditonton orang, anak-cucu dan kerabat, karena ini kejadian yang pertama di Aceh, bahkan di Indonesia," ujarnya. Zakaria juga mempertanyakan hukuman cambuk yang hanya ditimpakan kepada rakyat kecil. "Pejabat yang korupsi tidak tersentuh hukuman ini," ujarnya. 
Kepala Dinas Syariat Islam, Alyasa Abu Bakar, menegaskan hukuman cambuk dilakukan memang bukan untuk menyakiti si terhukum, melainkan lebih untuk membuat malu. "Agar dia tidak mengulangi perbuatannya, sekaligus memberi efek jera bagi masyarakat lain," kata Alyasa. Ketua Komisi Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Daniel Djuned, menegaskan hukum cambuk itu sudah sesuai dengan hukum hudud (hukum pidana Islam). "Hukuman itu sah karena sesuai dengan qanun yang telah dibahas para ulama Aceh," kata guru besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu. 
Tapi tak semua sependapat dengan Daniel. Wakil Ketua Komisi E Bidang Syariat Islam DPRD Aceh, Teungku Amir Hamzah, menilai hukuman cambuk bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut dia, hukum cambuk hanya sebagian kecil hukum Islam. Padahal, hukum hudud masih punya tiga bagian: qisash bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dan hukum rajam bagi penzina. "Yang diambil sekarang justru rantingnya, sedangkan cabangnya tak ada. Ini sama dengan mempermainkan hukum Tuhan," ujarnya. 
Menurut Amir, Pemda Aceh dan Pemda Bireuen hanya mengambil sebagian hukum pidana Islam. "Yang tidak penting diambil, yang penting tidak dilaksanakan," katanya. Jika hendak menjalankan syariat Islam, ujar Amir, pemerintah seharusnya juga membuat qanun tentang qisash, hukuman rajam, dan potong tangan. "Kalau tidak, pejudi dicambuk, tapi koruptor dan pembunuh bebas berkeliaran." 
Yuswardi A. Suud, Imran MA (Bireuen), Adi Warsidi (Banda Aceh)

Telapak Cheng Ho di Laut Kita

Unknown     03:28  
Ia hidup dan berkreasi 600 tahun yang lalu. Tubuhnya mencolok, tinggi besar. Tapi ukuran fisik itu tak penting lagi bila dibandingkan dengan prestasinya. Ya, ekspedisi Cheng Ho ke 37 negara di dunia membuat orang-orang seperti Vasco da Gama, si penemu India, dan Christopher Columbus, penemu Amerika, tampak kecil. 

Bagi kita, yang lebih menarik adalah jejak-jejak yang ditinggalkan di Aceh, Palembang, Tuban, Surabaya, dan tempat-tempat lainnya. Di sanalah kasim dinasti Ming ini menanamkan eksistensinya dalam ingatan turun-temurun para penduduk setempat. 

Cheng Ho sudah lama meninggal, tapi cerita tentang dirinya begitu hidup, kaya improvisasi. Majalah ini menyajikan aneka cerita yang berkaitan dengan jejak Cheng Ho di negeri ini.

Enam ratus tahun silam, dialah bintang yang terang. Kita kenal Cheng Ho, laksamana hebat itu, melalui deskripsi ini: tingginya di atas dua meter, wajahnya tampan, alisnya tebal, matanya besar, suaranya keras dan nyaring seperti dentang bel raksasa, dan armadanya luar biasa.

Ya, waktu itu, seorang lelaki yang pernah berdiri di titik paling selatan Sri Lanka menyaksikan pemandangan yang membuatnya takjub. Mulanya, kata si lelaki, tampak bayangan begitu pekat di garis horizon. 


Bayangan itu bergerak perlahan. Dan manakala awan dan kabut tersibak, kelihatanlah sosoknya yang lebih jelas. Mendekati bentuk sebuah kota terapung, hanyut mendekati pantai Samudra Hindia.

Iring-iringan mayestis itu membentang hampir 1.000 meter di garis cakrawala, dan memanjang dengan jarak antara kapal pertama dan terakhir mencapai 1,5 kilometer. 


Kekuatan laut ini mengangkut 30 ribu serdadu, ratusan pejabat, 180 dokter, lima astrolog, puluhan akuntan, penjahit, juru masak, pedagang, dan penerjemah. Ma Huan, salah seorang di antara mereka, mencatat dalam bukunya yang berjudul Ying-yai Sheng-lan (Survei Menyeluruh Daratan-daratan Samudra).

Ma Huan seorang muslim—Ma di sini sama dengan Muhammad. Ia menguasai bahasa Arab dan Persia, tapi punya minat melimpah mengenai segalanya yang asing: dari ritual pemakaman, perkawinan, kepercayaan masyarakat, arsitektur, dunia flora-fauna, hingga kuat-lemahnya pemerintah di tempat-tempat yang dikunjunginya. 

Dalam Ying-yai Sheng-lan, ia mengungkap keterpesonaannya terhadap aneka burung yang hidup di Jawa (Chao Wa). Secara khusus, ia menyebut sejenis burung yang mampu menirukan suara manusia.

Waktu itu, dalam pelayaran keempat Cheng Ho (1413), Ma Huan masih di usia 25 tahun. Dan ia menangkap suatu fenomena sosial yang merisaukan hatinya: frekuensi pembunuhan yang tinggi di tanah Jawa (baca: Majapahit). ”Mereka menusuk di antara tulang iga, sehingga korban langsung mati,” tulisnya.

Ya, pembunuhan yang dinilainya berangkat dari hal sepele, juga yang berangkat dari keyakinan yang susah dipahaminya. Memegang kepala orang lain sama dengan penghinaan. Penghinaan yang bermuara kematian. Jawa, di mata Ma Huan, juga merupakan tempat dengan penduduk lelakinya—dari usia tiga sampai seratus tahun—membawa pisau.

Saat itu, kapal yang ditumpangi Ma Huan bertolak dari Campa (kini bagian dari Vietnam), berlabuh di Surabaya. Empat bulan armada Cheng Ho merapat di kota itu, sebelum akhirnya mengangkat sauh pada Juli, ketika angin bertiup ke Barat. Surabaya adalah landasan sebelum destinasi mereka selanjutnya: Palembang, Sri Lanka, Kalkuta, Hormuz, dan seterusnya.

Menurut catatan Ma Huan, Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai Shepo memiliki empat kota, tanpa dikelilingi dinding. Kapal mendarat di Tupan (Tuban), lalu di kota yang bernama Desa Baru atau Koerhhsi (Gresik), dan terakhir Sulumai (Surabaya). Setelah itu, rombongan sampai ke Kota Manchepoi (Majapahit), tempat tinggal raja.

Ma Huan menggambarkan istana Majapahit bertembok bata, dengan gerbang dua lapis. Rajanya berambut kusut, terkadang bermahkota daun emas, tapi tanpa jubah, bertelanjang dada dan kaki. Ia hanya mengenakan selembar atau dua lembar kain sutra dengan ikat pinggang, untuk menyelipkan dua bilah pisau yang disebutnya pulatou.

Banyak cerita tentang Majapahit. Tapi, di luar catatan Ma Huan itu, jejak armada Cheng Ho hanya terdeteksi pada sepotong kayu aji, balok kayu yang berwarna hitam. Willy Pangestu, ahli sejarah Cheng Ho di Surabaya, merasa yakin itulah bagian dari ekspedisi. Kayu balok hitam itu sudah dites di laboratorium Cina. 

Hasilnya, ”Berkait dengan masa-masa armada Cheng Ho singgah,” kata Willy. ”Kayu aji sekarang disimpan di Kelenteng Mbah Ratu, Surabaya.”

Kita memang hanya melihat bukti-bukti kehadiran Cheng Ho yang terbatas: kayu aji di Surabaya, lonceng Cakra Donya di Banda Aceh, jangkar di Semarang dan Tuban. Sejauh ini hubungan jangkar di Tuban dan Semarang dengan Cheng Ho masih diragukan. 

Bahkan Ma Huan sendiri tidak menyebut Semarang sebagai salah satu titik singgah armada Cheng Ho—begitu juga juru tulis Fei Xin dan Gong Zheng (lihat: Cheng Ho, oleh Remy Silado). 

Bagaimana dengan lonceng Cakra Donya di Aceh? Kehadiran armada Cheng Ho di Aceh sangat jelas dicatat dalam buku Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan. Ma menyebutnya Semudra, pertanda mereka berhubungan dengan Kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-15.

Pada ekspedisi pertama, Cheng Ho berlabuh di Semudra (Lhok Seumawe), Lambri (Aceh secara umum). Samudra dan Lambri tempat yang selalu disinggahi dalam setiap ekspedisinya. Bahkan pada ekspedisi ketujuh, ada catatan rinci. Pada 3 Agustus 1432, kapal mereka sampai di Malaka dan kembali berlayar pada 2 September 1432. 

Sampai Sumentala atau Samudra dekat Kuala Pasai, 12 September 1432. Kapal berlabuh di Taluman, yang dalam catatan perjalanan Ibnu Battuta dalam Raja-raja Pasai disebut Sarhi atau Sarha.

Tidak jelas letak Taluman sekarang. Ada perkiraan kapal-kapal Cheng Ho merapat di Kuala Pedena di Desa Beringin, Kecamatan Samudra Gedong. Namun, tidak ada sisa-sisa tetenger tertinggal di sana, karena pelabuhan tersebut sudah tergerus air. Arus air memang bisa menghapus bekas tempat berlabuh armada Cheng Ho. 

Sejarawan Sumatera Selatan, Johan Hanafia, menemui kesulitan untuk mengumpulkan bukti arkeologis Cheng Ho di Palembang. Dan Palembang adalah Kukang, pelabuhan lama.

Dan ciri khas kota pelabuhan zaman dulu, semua bangunan berdiri di atas air. Padahal bahan bangunan umumnya kayu, dan tidak akan bertahan hingga 100 tahun.

Nasib Palembang dan Aceh serupa. Keduanya sama-sama kekurangan bukti kehadiran armada Cheng Ho, juga sama-sama pernah merasakan otot kekuatan militer armada itu. Ada 63 kapal, dengan 28.560 orang awak dalam ekspedisi ke empat.

Cheng Ho turun tangan ketika pemberontak bernama Sekander (mungkin maksudnya Iskandar) sekonyong-konyong mengambil alih kekuasaan. Di Nanking, kaisar Cina tidak senang melihat perubahan ini. Seraya memerintahkan Zheng Ho mengembalikan takhta yang lepas dari tangan Sultan Zainal Abidin (1420-1428).

Pasukan Cheng Ho terus memburu Sekander, yang sudah kalah dan lari ke Lambri. Sekander bersama anak dan istrinya dapat ditangkap hidup-hidup. Ketika ekspedisi pulang kampung, Cheng Ho menyerahkan Sekander kepada kaisar. Kaisar Cina memutuskan: eksekusi di hadapan publik buat sang pemberontak.

Samudra Pasai negeri yang mempunyai arti penting, dan perubahan pemerintah bisa mengganggu kerja sama selama ini. Menurut Ali Akbar, Penasihat Majelis Adat Aceh, Samudra Pasai istimewa karena, ”Pasai bisa menjadi pengekspor utama sutra.”

Sebelum itu, pada ekspedisi pertama, Cheng Ho membersihkan jalur Selat Bangka dan Selat Malaka dari perompak, sekaligus melindungi komunitas kecil Tionghoa di sana. Sebelum armada Zheng Ho tiba di Palembang, sudah banyak orang Cina tinggal di sana.

Termasuk Chen Tsu I, bekas pendukung dinasti Mongol, rezim terdahulu, yang lari dengan tujuh kapal dan menjadi perompak tangguh. Chen Tsu I menjadi ancaman setelah pimpinan masyarakat Palembang, Shi Jingging, pergi ke Cina, melaporkan kejahatan perompak itu.

Cheng Ho dikirim untuk menyelesaikan masalah. Ia mendekatinya secara baik-baik, namun Cheng Tsu I justru menyerang. Pertempuran laut yang hebat berkobar. Sekitar 5.000 orang terbunuh dan 17 kapal dibakar, sedangkan Cheng Tsu I yang tak berdaya dibawa ke Nanking untuk dihukum. Akibat pertempuran ini, ekspedisi terlambat tiga bulan. Cheng Ho kembali ke Nanking pada 2 Oktober 1407, dan kaisar Cina menjatuhkan vonis mati bagi perompak itu.

Dalam catatan Cheng Ho, Palembang ”tempat perlindungan tua”, juga disebut SanFochi atau Polinpang. Negara ini berada di bawah kekuasaan Chaowa (Jawa). Kapal-kapal dari segala penjuru merapat di pelabuhan yang memiliki banyak tugu batu bata, untuk mendapatkan air segar.

Tapi, untuk mencapai ibu kota, para pendatang harus menempuh muara dan menggunakan kapal yang lebih kecil. Yang menarik, Ma Huan menggambarkan rumah-rumah sungai yang dibangun di atas rakit kayu. 


Jika air pasang, penduduk menggunakan tali untuk mencancang rumah rakit mereka ke pinggiran sungai. Bila mereka bosan tinggal di satu tempat, rumah rakit dengan mudah dipindah ke lokasi lain.

Palembang adalah kota tua. Prasasti Kedukan Bukit Kerajaan Sriwijaya menunjuk tahun kelahirannya 682 Masehi. Artinya, Palembang lebih tua daripada Bagdad (762 M) dan Kyoto (794 M). Sayangnya, ”kota tua” ini tak punya catatan sejarah antarwaktu. Bukti-bukti arkeologi yang bisa menghubungkan dengan Palembang masa kini baru ditemukan pada abad ke-18 dan 19. 

Johan Hanafiah, pembina adat Palembang, mengkritik pengajaran sejarah yang cenderung mengingat Majapahit, melupakan Sriwijaya. Jejak Cheng Ho tak terekam. ”Waktu saya kecil, saya tidak mendengar Sriwijaya, tapi Majapahit,” katanya.

Gambaran sebaliknya tentang Majapahit bisa kita dapat dalam karya Ma Huan. Ma Huan mencatat masyarakat Majapahit yang terbagi dalam tiga kelas, yaitu muslim, Tang, dan penduduk asli. Kelompok muslim adalah orang dari negara-negara Barat (Timur Tengah) yang semula pedagang dan kemudian tinggal di Majapahit. Pakaian dan makanan mereka bersih.

Begitu juga dengan Tang, para pendatang yang umumnya dari Tiongkok, dan banyak masuk Islam. Sedangkan penduduk asli sangat buruk, berambut kusut dan bertelanjang kaki. Mereka makan makanan aneh seperti ular, semut, berbagai serangga dan cacing yang hanya dibakar. Penduduk Majapahit, begitu ditulisnya, terbiasa tidur bersama anjing.

Ma Huan memang tak memiliki gambaran indah tentang Majapahit. Tapi menurut catatan sejarah Cina, Cheng Ho punya keterkaitan cukup erat dengan Majapahit. Pada 1407, sekitar 170 anak buah Cheng Ho dibunuh pasukan Majapahit. 


Lalu, Dinasti Ming menuntut ganti rugi 60.000 liang atau sekitar 22 kilogram emas. Karena tuntutan tersebut tak dipenuhi, tentara Cheng Ho pun menyerang Majapahit.

Catatan tersebut dibuat sebelum kematian Raja Wikramawardhana pada 1428. Tidak ada tulisan Ma Huan tentang pembunuhan 170 anak buah Cheng Ho, karena Ma Huan memang tidak ikut dalam ekspedisi pertama.

Tujuh ekspedisi Cheng Ho—dari pelayaran pertama 1405, dan terakhir 1433—tentu berisi rangkaian program yang ambisius. Kontroversi tentang motif ekspedisi tak kunjung selesai diperdebatkan: adakah itu semacam gun boat diplomacy, sebagaimana dipraktekkan adikuasa dewasa ini? 

Sekadar salam damai yang bakal membuka simpul-simpul diplomasi dan potensi perdagangan? Atau eksplorasi ilmiah yang ditunjang logistik berskala besar, baik militer maupun nonmiliter? 

Usaha menjalin kerja sama Cina dengan kerajaan-kerajaan Islam waktu itu untuk menghadapi kekuatan Hindu lewat poros India-Siam-Jawa? Ataukah akumulasi semua kepentingan itu?

Pengamat budaya Remy Silado menangkap ”akibat” ekspedisi. Armada Cheng Ho adalah armada yang mayoritas anggotanya pemuda, dan mereka menghabiskan masa mudanya di tengah laut. 


Cheng Ho punya kebiasaan meninggalkan beberapa anak buahnya di tempat-tempat yang disinggahi. Mereka berbaur, kawin-mawin dengan masyarakat setempat. Mereka juga mengajarkan ilmu tertentu, seperti teknik bercocok tanam dan menenun benang dari ulat sutra.

”Perpisahan” dengan anak buah dianggap biasa saja hingga peristiwa ketika berlabuh di Chialupa (Sunda Kelapa). 

Juru masak kepercayaan Cheng Ho—karena ia muslim dan tidak akan memasukkan babi dalam masakannya—Sam Poo Soei Soe, menikah dengan Tiwati, gadis setempat, dan tinggal. Cheng Ho pun sedih. Hingga kini patung pasangan pengantin juru masak dengan gadis Sunda Kelapa bisa dilihat di Wihara Bahtra Bhakti di Ancol.

Ya, sejauh ini kita hanya mendengar ”akibat” ekspedisi. Tapi, dari pelbagai telaah, semua setuju bahwa Cheng Ho berkarakter kuat, dan bernama asli Ma Ho. Ayahnya Ma Ha Ze, dan kakek buyutnya asli Bayan, keturunan Mongol-Arab. Ma Ha Ze seorang haji. 

Ma Ho dikebiri kala berusia 12 tahun, saat tentara Ming menyerbu tempat tinggalnya di Provinsi Yunan. Ia dibawa ke Nanking, ibu kota, dan beberapa tahun berselang berhasil menimbulkan kekaguman orang di sekitarnya. Ia pintar, dan terbukti sebagai ahli strategi perang yang dahsyat.

Cheng Ho telah berlayar jauh, sangat jauh. Dalam pelayaran terakhir, 1433, Cheng Ho membuat keputusan bersifat pribadi. Ia memerintahkan armadanya menuju Mekah. Sama seperti ayahnya, di sana ia menunaikan haji. 

Dua tahun kemudian, dalam perjalanan pulang, ia meninggal dunia. Sebuah nisan besar didirikan di Nanking. Tapi para sejarawan telah percaya, mayatnya ditenggelamkan di Laut Malabar. Bagaimana halnya dengan Ma Huan?

Yang terang, ia berwawasan luas. Dan ia menulis beberapa buku lain sesudah Ying-yai Sheng-lan. Ma Huan dikaruniai umur panjang. Ia meninggal pada usia 80-an tahun.

Bina Bektiati, Imran M.A. (Lhok Seumawe), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Arif Ardiansyah (Palembang), Sohirin (Semarang)

Popular Post