Facebook Twitter Google RSS

Saturday, 15 September 2007

Tentang Pertemuan Helsinki

Unknown     04:27  

Giliran Prajurit dan Rakyat Angkat Bicara [2]
Reporter: Ary & Misrie - NAD, 2005-02-24 12:41:28 
Para prajurit saja mengaku kelelahan hidup lama dalam kondisi carut marut, apalagi rakyat sipil yang selalu terhimpit dalam pertarungan dua pihak yang bertikai ini. Usman, seorang tukang becak di Kota Lhokseumawe sangat berharap kedamaian segera bersemai di Aceh. 
Bagi dia, perundingan yang digagas para pihak yang bertikai bisa segera menyemai damai. “Perundingan itu suatu langkah yang baik, tetapi jangan lagi seperti dulu yang gagal, dan akhirnya kita juga yang melarat,” ujar Usman. 
Dia memang sedang mengomentari pertemuan informal antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang sudah dua kali digelar di Helsinki, Finlandia, akhir Januari dan Februari lalu. Lain lagi pendapat Yunus, seorang nelayan asal Tanah Pasir yang berharap agar perundingan ini dapat mengurangi jumlah pasukan TNI di desanya.
“Jika ada TNI di gampong-gampong (kampung) ada saja yang disalahkan. Jadi biar saja, nggak ada TNI kami juga tidak pernah diganggu oleh GAM,” katanya serius. Yunus sendiri mengaku tidak mengikuti pemberitaan tentang jalannya perundingan damai ini. 
Dia juga mengaku tidak tahu, bahwa salah satu permintaan delegasi GAM adalah penarikan pasukan TNI dari Aceh. Ini berbeda dengan Saiful, seorang pegawai negeri sipil di Aceh Utara, yang lebih memperhatikan jalannya dialog lewat berita-berita media. 
Menurutnya, pertemuan yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) ini merupakan langkah maju yang dicapai kedua belah pihak, setelah perundingan sebelumnya (CoHA) mengalami kegagalan. Dia berharap, perundingan kali ini bisa menimbulkan rasa saling memahami dan saling menghargai satu sama lain. 
“Jadi mereka juga harus memahami bahasa–bahasa itu secara akurat. Ketika dipublikasikan, jangan masyarakat yang bingung. Ini sepertinya apa...” ujar Saiful tak meneruskan kalimatnya. Dia memang mengaku agak bingung memahami bahasa-bahasa diplomatik yang kerap dikutip media massa dalam memberitakan pertemuan Helsinki. 
Namun ia menambahkan, saat itu yang diperlukan masyarakat adalah ketenangan dan kedamaian. “Mereka jangan lagi dipukul dan ditangkap. Bahkan sekarang seperti kita dengar di pedalaman, ada yang tidak salah pun harus menyerah. Banyak kejadian seperti itu,” tambahnya. 
Pendapat orang Aceh memang beragam. Ketika secara acak acehkita menemui Ibrahim, seorang warga Seunundon yang berprofesi sebagai nelayan, dia malah menduga pertemuan Helsinki akan berakhir dengan semakin banyaknya pihak asing yang datang ke Aceh. 
“Saya menginginkan dapat melahirkan keputusan agar pihak asing dapat hadir di Aceh,” ujarnya polos. Ketika ditanya apakah ini berkaitan dengan peluang mendapat rezeki daripada alasan politis, Ibrahim menggeleng cepat. 
“Kalau ada orang asing, kekerasan bisa berkurang,” katanya dalam bahasa Aceh.
Warga di pengungsi Kecamatan Seunundon, Aceh Utara dan kamp pengungsian Rumah Sakit Cut Meutia, Lhokseumawe rata-rata memang menginginkan agar dialog antara TNI dan GAM, dapat mengurangi rasa takut mereka. 
“Sekarang tiap malam ada operasi ke desa-desa. Kalau ada di kampung, mereka memanggil dan menanyakan macam-macam. Kalau jawaban tidak sesuai dengan keinginannya, kita dipukul,” ujar seorang warga Teupin Kuyun, Aceh Utara. 
Ketakutan mereka bukannya tanpa sebab. Hari Senin, 14 Februari lalu, beberapa warga Desa Matang Lada mengaku mengalami tindak kekerasan oleh pasukan pemerintah. “Pokoknya kami sangat was-was pulang kampung,” sambung warga lainnya. 
Pria yang sudah menginjak usia 50 tahun dan menolak namanya ditulis itu, berharap, agar perundingan Helsinki bisa menghapuskan wajib lapor di desanya. Dia sendiri mengaku tidak mengetahui ada perundingan itu. Tetapi, setelah mendengar sekilas, harapan pun dimunculkan. 
“Sejak mulai darurat (militer) hingga sekarang, seluruh warga Matang Lada, Teupin Kuyun, Meunasah Sagoe, Ule Rubek dan Blang Geulumpang diwajibkan untuk melapor setiap 15 hari sekali ke pos TNI. Kalau tidak, jika kedapatan, kami akan dipukul,” katanya. 
Pun begitu, tentu ada warga yang berharap sebaliknya. “Jangan dicabut darurat (sipil), Pak, nanti mereka merajalela lagi,” kata seorang ibu pemilik warung di sebuah kecamatan di Aceh Timur. 
Yang dimaksud “mereka” adalah Gerakan Aceh Merdeka. Ibu yang kehilangan seorang anaknya karena dibunuh gerilyawan dengan tuduhan sebagai mata-mata aparat ini, memang tak mengerti ihwal pertemuan Helsinki. 
Ketika ditanya, dia mengira perundingan damai berarti pencabutan status darurat. “Saya sudah senang di sini banyak aparat. Saya tak tahu harus bagaimana lagi kalau mereka tidak ada,” katanya. “Tapi anak-anak saya yang perempuan memang saya larang sering-sering bergaul dengan mereka,” tandasnya. [tamat/dan]

Unknown


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Popular Post