Reporter: Misrie - Aceh Utara
Nasir berharap perundingan Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Aceh. Dia tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung, tanpa razia,” kata bapak enam anak ini.
Basyir, sebut saja begitu nama pria berumut 47 tahun itu. kulitnya hitam legam, pertanda ia memang sering dibakar terik sinar surya. Sambil duduk di atas becak mesin jenis KW, ia sigap melihat ke kiri dan kanan, mencari penumpang. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya berpeluh. “Baru 15.000 saya dapat hari ini.
Sulit cari penumpang sekarang, karena kebanyakan becak,” kata Basyir kepada acehkita, Selasa (12/4). Sudah delapan tahun terakhir ini, Basyir bergelut dengan becak mesin. Sebelumnya, pria ini sudah melanglang buana untuk mencari peruntungan yang lebih baik, di beberapa kota di nusantara.
Namun, daerah tetap saja ia tergoda untuk kembali ke tanah kelahirannya. Padahal, di tanah kelahirannya, ia pernah menelan pil pahit konflik berkepanjangan. Ia kemudian memulai kisah kepahitan yang dituai. Pada tahun 1990, ia ditangkap dan disiksa dengan tuduhan membantu anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebuah label yang diberikan pemerintah kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Tiap malam mereka mengancam akan mencabut kuku saya,” katanya, mengenang. Tujuannya, untuk membuat supaya Basyir memberi pengakuan bahwa dia terlibat GAM. “Saya bukan GAM. Waktu itu yang warga Aceh semua bisa dituduh GAM,” terangnya. Setelah tak mendapat pengakuannya, Basyir dilepas.
Basyir hidup pas-pasan. Sebagai penarik becak, dia tidak punya banyak penghasilan, layaknya pegawai negeri dan pengusaha. Di usianya sekarang, dia masih mengontrak rumah. Konflik berkepanjangan di Bumi Seulanga menambah daftar panjang kesusahannya dalam mencari rezeki. Ia senang ketika kabar dialog antara GAM dan RI sampai ke telinganya.
“Ini kan udah dialog lagi,” katanya kepada acehkita, sambil bangkit dari becaknya. Namun, dia risau dengan pengalaman perundingan yang sudah pernah berlangsung, namun kandas di tengah jalan. “Dialog kemarin gagal, akhirnya pemerintah menanggapi dengan pemberian darurat militer. Namun, kalau dialog kali ini gagal, gimana?” risau Basyir.
Dia berharap perundingan di Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dia pun tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung,” kata bapak enam anak ini.
“Sekarang kalau mau berkunjung banyak sekali masalah sweeping lah atau apa. Pokoknya serba tidak aman.” Basyir terus bercerita tentang kondisi daerahnya yang tidak terlalu kondusif.
Beberapa calon penumpang yang lalu lalang di depannya, dibiarkan saja. Menurutnya, kondisi masyarakat di pedalaman Aceh sangat tidak bersahabat. “Dialog memang harapan masyarakat. Tapi sepertinya dialog tidak ada ujungnya,” katanya. Harapan untuk segera hidup dalam damai juga disuarakan Ismail (40).
Nelayan asal Aceh Utara ini sangat berharap dialog di Helsinki bisa membawa angin segar ke Aceh. Karenanya, dia berharap baik pemerintah Indonesia dan GAM, tidak ngotot pada tuntutannya masing-masing. Ismail yang mengaku selalu mengikuti perkembangan dialog damai, mengatakan ada kesan pemerintah tetap ngotot dalam menawarkan otonomi khusus bagi GAM. Nah, kata dia, jika GAM menerima otsus, harus dipertanyakan khusus yang bagaimana.
“Bukankah sekarang sudah otonomi khusus?” tanyanya, “tapi tidak membawa perubahan apa-apa.” “Seperti kami nelayan, tidak ada untung apa-apa. Kesejahteraan bagi kami tidak ada. Bantuan untuk korban tsunami aja bisa ditilep, apalagi bantuan yang lain,” sergahnya. Lalu, apa harapannya?
“Saya tidak tahu harus mengharapkan apa sekarang, Dik,” katanya. Angin laut terus berhembus, juban (alat menjahit jaring) yang dipegangnya tak henti merangkai jejaring yang ada di depannya.
Beberapa nelayan yang ada tak jauh dari Ismail, terlihat sedang membersihkan boat dan melakukan perbaikan pukat untuk kembali berlayar. Pria berkumis tipis ini kembali bicara.
“Tetapi agak enak sekarang tidak ada lagi suara senjata. Jika dulu kalau ada suara senjata di sekitar sini kami tidak bisa melaut,” katanya. Sementara itu, seorang pegawai negeri sipil di Lhokseumawe, Jamal, mengatakan kondisi di daerahnya saat ini sudah aman. “Sekarang sudah bisa keluar malam,” kata Jamal.
“Kalau otonomi khusus, gaji pegawai ditambah.” Zulhan, salah seorang mahasiswa semester akhir salah satu universitas di Lhokseumawe, menyambut baik dialog damai ini. Dia juga meminta para pihak yang bertikai untuk menghentikan segala kekerasan di lapangan. “Ini dialog jalan terus, warga tak hentinya ditangkap,” kata dia.
Dia juga memandang aneh, kendati Jakarta setuju berdialog dengan GAM, namun tak kunjung mencabut status darurat sipil di Bumi Seulanga itu. “Maunya itu (darurat sipil) dicabut dulu, baru dialog,” tambahnya.
Dia juga memandang, jika perundingan gagal dan pemerintah memaksakan penerapan otonomi khusus, “tidak juga selesai,” kata mahasiswa ini menambahkan. Jadi? [dzie]
Nasir berharap perundingan Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Aceh. Dia tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung, tanpa razia,” kata bapak enam anak ini.
Basyir, sebut saja begitu nama pria berumut 47 tahun itu. kulitnya hitam legam, pertanda ia memang sering dibakar terik sinar surya. Sambil duduk di atas becak mesin jenis KW, ia sigap melihat ke kiri dan kanan, mencari penumpang. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya berpeluh. “Baru 15.000 saya dapat hari ini.
Sulit cari penumpang sekarang, karena kebanyakan becak,” kata Basyir kepada acehkita, Selasa (12/4). Sudah delapan tahun terakhir ini, Basyir bergelut dengan becak mesin. Sebelumnya, pria ini sudah melanglang buana untuk mencari peruntungan yang lebih baik, di beberapa kota di nusantara.
Namun, daerah tetap saja ia tergoda untuk kembali ke tanah kelahirannya. Padahal, di tanah kelahirannya, ia pernah menelan pil pahit konflik berkepanjangan. Ia kemudian memulai kisah kepahitan yang dituai. Pada tahun 1990, ia ditangkap dan disiksa dengan tuduhan membantu anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebuah label yang diberikan pemerintah kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Tiap malam mereka mengancam akan mencabut kuku saya,” katanya, mengenang. Tujuannya, untuk membuat supaya Basyir memberi pengakuan bahwa dia terlibat GAM. “Saya bukan GAM. Waktu itu yang warga Aceh semua bisa dituduh GAM,” terangnya. Setelah tak mendapat pengakuannya, Basyir dilepas.
Basyir hidup pas-pasan. Sebagai penarik becak, dia tidak punya banyak penghasilan, layaknya pegawai negeri dan pengusaha. Di usianya sekarang, dia masih mengontrak rumah. Konflik berkepanjangan di Bumi Seulanga menambah daftar panjang kesusahannya dalam mencari rezeki. Ia senang ketika kabar dialog antara GAM dan RI sampai ke telinganya.
“Ini kan udah dialog lagi,” katanya kepada acehkita, sambil bangkit dari becaknya. Namun, dia risau dengan pengalaman perundingan yang sudah pernah berlangsung, namun kandas di tengah jalan. “Dialog kemarin gagal, akhirnya pemerintah menanggapi dengan pemberian darurat militer. Namun, kalau dialog kali ini gagal, gimana?” risau Basyir.
Dia berharap perundingan di Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dia pun tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung,” kata bapak enam anak ini.
“Sekarang kalau mau berkunjung banyak sekali masalah sweeping lah atau apa. Pokoknya serba tidak aman.” Basyir terus bercerita tentang kondisi daerahnya yang tidak terlalu kondusif.
Beberapa calon penumpang yang lalu lalang di depannya, dibiarkan saja. Menurutnya, kondisi masyarakat di pedalaman Aceh sangat tidak bersahabat. “Dialog memang harapan masyarakat. Tapi sepertinya dialog tidak ada ujungnya,” katanya. Harapan untuk segera hidup dalam damai juga disuarakan Ismail (40).
Nelayan asal Aceh Utara ini sangat berharap dialog di Helsinki bisa membawa angin segar ke Aceh. Karenanya, dia berharap baik pemerintah Indonesia dan GAM, tidak ngotot pada tuntutannya masing-masing. Ismail yang mengaku selalu mengikuti perkembangan dialog damai, mengatakan ada kesan pemerintah tetap ngotot dalam menawarkan otonomi khusus bagi GAM. Nah, kata dia, jika GAM menerima otsus, harus dipertanyakan khusus yang bagaimana.
“Bukankah sekarang sudah otonomi khusus?” tanyanya, “tapi tidak membawa perubahan apa-apa.” “Seperti kami nelayan, tidak ada untung apa-apa. Kesejahteraan bagi kami tidak ada. Bantuan untuk korban tsunami aja bisa ditilep, apalagi bantuan yang lain,” sergahnya. Lalu, apa harapannya?
“Saya tidak tahu harus mengharapkan apa sekarang, Dik,” katanya. Angin laut terus berhembus, juban (alat menjahit jaring) yang dipegangnya tak henti merangkai jejaring yang ada di depannya.
Beberapa nelayan yang ada tak jauh dari Ismail, terlihat sedang membersihkan boat dan melakukan perbaikan pukat untuk kembali berlayar. Pria berkumis tipis ini kembali bicara.
“Tetapi agak enak sekarang tidak ada lagi suara senjata. Jika dulu kalau ada suara senjata di sekitar sini kami tidak bisa melaut,” katanya. Sementara itu, seorang pegawai negeri sipil di Lhokseumawe, Jamal, mengatakan kondisi di daerahnya saat ini sudah aman. “Sekarang sudah bisa keluar malam,” kata Jamal.
“Kalau otonomi khusus, gaji pegawai ditambah.” Zulhan, salah seorang mahasiswa semester akhir salah satu universitas di Lhokseumawe, menyambut baik dialog damai ini. Dia juga meminta para pihak yang bertikai untuk menghentikan segala kekerasan di lapangan. “Ini dialog jalan terus, warga tak hentinya ditangkap,” kata dia.
Dia juga memandang aneh, kendati Jakarta setuju berdialog dengan GAM, namun tak kunjung mencabut status darurat sipil di Bumi Seulanga itu. “Maunya itu (darurat sipil) dicabut dulu, baru dialog,” tambahnya.
Dia juga memandang, jika perundingan gagal dan pemerintah memaksakan penerapan otonomi khusus, “tidak juga selesai,” kata mahasiswa ini menambahkan. Jadi? [dzie]