Pengungsi yang (Diperintahkan) Tutup Mulut
Reporter: Misrie – Bireuen, 2005-01-10 09:18:49
Pagi itu, Kamis, 6 Januari 2005. Baru jam 11.00 WIB saat satu mobil yang bertuliskan “PERS” datang dari arah Lhokseumawe tujuan Banda Aceh.
Sampai di Jeunib, Bireuen, mobil merambat pelan sambil menghidupkan lampu samping pertanda hendak berhenti. Ban membelok ke pinggir jalan, tepatnya di depan Meunasah Jeunib. Di situlah terdapat sebuah lokasi pengungsian.
Melihat ada wartawan datang, di sebuah tenda tengah dilakukan sebuah taklimat (pengarahan). “TNI melarang warga untuk mendekati dan berbicara dengan wartawan, alasannya kehadiran wartawan tidak ada untungnya,” ungkap seorang warga menirukan si pemberi taklimat.
Tapi para wartawan itu tak merasa apa-apa. Salah seorang dengan kamera foto turun dari mobil dan masuk ke gerbang meunasah yang disambut senyum warga di sana, sambil sedikit mengangguk pertanda “silahkan”.
Ada juga beberapa personel TNI yang bertugas jaga di sana. Tapi mereka tetap memasang muka ramah ke arah wartawan dan bahkan berjabat tangan. Beberapa wartawan itu sempat juga berbicara beberapa kata dengan tentara itu sebelum akhirnya mereka melangkah menyesuri tenda. Sebagian besar pengungsi mengumbar senyum, tetapi tidak berani mendekat, apalagi berbicara.
Sesuatu yang agak ganjil dalam dua pekan belakangan. Biasanya, wartawan justru menjadi tempat menumpahkan keluh kesah tentang segala pelayanan yang mereka terima di lokasi pengungsian atau bahkan menanyakan sanak saudara, keadaan kampung, bahkan meminjam handphone.
Tapi kali ini lain.
Seperti tak hirau, para wartawan menjepretkan kameranya. Dan seperti tak hirau pula, aparat pun terkesan tidak peduli. Setiap kali beradu pandang, mereka tetap memasang senyum. Tapi tak lama kemudian, bila dilirik dengan ekor mata, senyum itu hilang secepat hembusan nafas.
Jepretan kesekian kalinya ditujukan kepada seorang wanita yang sedang duduk termangu, kemudian ke arah beberapa orang yang duduk berkelompok sambil bercerita sesamanya. Si tentara terus memperhatikan tingkah si wartawan, yang sedang berputar mencari gambar. Ada relawan mahasiswa di sana, yang kabarnya sudah sejak hari Minggu (26/12), setelah mereka selesai mengevakuasi jenasah warga Samalanga yang diterpa tsunami.
Mula-mula tak ada tentara di lokasi itu. Para mahasiswalah yang tinggal dan membantu pengungsi sebisanya. Namun sejak Rabu (29/12), sejumlah personel TNI datang dan membentangkan spanduk asal kesatuan dan mengumumkan bahwa di sana ada posko bantuan milik TNI.
Spanduk milik mahasiswa yang semula terlihat di gerbang meunasah itu, kini raib. “Spanduk itu ditukar dan digantikan spanduk abang,” kata seorang mahasiswa berusaha menyapa akrab pasukan TNI itu.
Semua peraturan di kamp itu pun dirombak total. Begitu juga dengan bantuan yang kini harus melalui mereka. Semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang berani membantah. Apalagi, setelah wartawan datang, peraturan bertambah satu, yaitu melarang warga berbicara kepada wartawan.
Nasib sial dialami Kek Kaoy yang sudah terlihat tua dan lemah dengan pendengaran yang sedikit terganggu. Kain sarung yang dipakainya sudah naik sedikit ke atas dan tidak rata antara muka dan belakang. Begitu juga dengan baju kemeja bantuan yang tampak kusut dan terlipat di sana-sini.
Dari sudut sebuah tenda ia bangun dengan sedikit gontai, hendak menuju ke samping wartawan yang sedang berdiri mencari informasi, jenis bantuan apa yang masih mereka butuhkan di kamp Meunasah Jeunib itu. Saat itu, wartawan sedang menanyai Ibu Darmi.
Saat itulah Kek Kaoy berusaha mendekat. Tapi langkahnya terhenti. Kening putihnya mengerut dan kakinya mundur ke belakang sebelum akhirnya duduk kembali sambil menunduk.
Seorang personel TNI samar-samar terdengar setengah membentak. “Masuk ke sana, kau!”
Setelah insiden itu, Helmi (nama samaran) menerangkan bahwa Kek Kaoy sebenarnya tidak mendengar adanya larangan untuk berbicara kepada wartawan. “Mungkin orang tua itu tidak lagi jelas pendengarannya. Ya gara–gara itu, Kek Kaoy dibentak dan mau tendang,” terangnya.
Helmi sendiri juga mengaku mulai curiga dengan pembatasan terhadap wartawan di kamp pengungsiannya. Apalagi di tempat lain, tidak ada pembatasan seperti ini.
Di kamp meunasah Jeunib saat ini ada sekitar 1.120 jiwa yang ditampung. Mereka adalah warga Pandrah yang mengungsi ke Jeunib.
Dengan semua keganjilan ini, tentu saja para wartawan itu saling menggerutu. “Sementara tentara negara asing sekarang membawa seluruh peralatan untuk bisa membuka akses Meulaboh dan sekitarnya, tentara kita masih sibuk melarang-larang wartawan,” sungut seorang wartawan. [dan]