Facebook Twitter Google RSS

Saturday, 15 September 2007

Kilas Gampoeng" Siasat Hasrat dari Bawah Tenda

Unknown     04:20  

Aceh Utara, Acehkita -- Ada sebuah perasaan yang sangat mengganjal pikiran Ilyas selama mendekam di tenda pengungsian. Bukan perihal makanan yang tidak mencukupi, bukan pula ketiadaan uang untuk menafkahi istri dan anaknya. 
''Untuk yang lain, seperti makan atau minum, semuanya cukup. Namun yang satu ini sangat membingungkan kita,'' kata Ilyas, malu-malu. ''Apalagi lampu di tenda hidup terus 24 jam.'' ''Satu ini sangat membingungkan'' yang dimaksud Ilyas adalah keinginannya untuk memberi nafkah batin kepada sang istri tercinta. 
Sudah dua bulan ini, pasangan suami-istri ini terpaksa harus puasa untuk berhubungan badan. Pasalnya, kondisi di lokasi pengungsian sama sekali tidak memungkinkan mereka untuk menyalurkan kebutuhan biologis. 
Menurut pengungsi asal Kecamatan Samudera Geudong, Aceh Utara ini, di lokasi pengungsian sama sekali tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologis. Hal ini disebabkan para pengungsi yang tidur di bawah tenda besar, secara ''berjamaah''. 
Tidak ada tirai pembatas antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, dalam tenda besar itu. ''Untuk mendekati saja, kita takut dilihat anak-anak dan orang lain,'' kata Ilyas. Di lokasi pengungsian, sama sekali tidak disediakan bilik untuk menyalurkan kebutuhan suami-istri itu. 
Lain ceritanya dengan pengalaman pengungsian sebelum tsunami, saat konflik bersenjata di Aceh memuncak. Para pengungsi yang tinggal di kamp pengungsian, disediakan bilik khusus bagi pasangan suami-istri. Bilik tersebut dikenal dengan bilik ''nyelam''. 
Sekitar bulan Juli 2004 lalu, di saat beberapa anggota GAM yang mendapatkan pembinaan di Desa Reuleut, Kecamatan Muara Batu, pemerintah menyediakan beberapa bilik ''nyelam'' ini. 
Di bilik yang sangat privacy itulah, anggota GAM binaan menerima keluarga atau istrinya yang berkunjung. Tak jarang, hasrat biologis pun, disalurkan di sana. Namun, tidak demikian dengan di kamp-kamp pengungsian pascatsunami ini. 
Untuk keperluan bilik ''nyelam'' atau tempat indehoi ini, Ilyas mengaku pernah mengutarakan kepada Camat Samudera Geudong. Namun, Pak Camat hanya tersenyum saja, mendengar usul yang dilontarkan Ilyas. Atas sebab itulah, Ilyas tampaknya harus rela ''berpuasa'' lebih lama lagi.
''Hom hai, ureung inong ka geuniet geu KB laju (Entahlah, istri pun sudah berniat ini sebagai KB saja),'' ujar Ilyas. ''Kita pun begitu, ya harus sabar. Tapi berat juga, ya,'' Ilyas tersenyum. 
Ia tampak malu-malu. Nasib Mansur (33) agak lebih beruntung. Namun, suami beranak tiga ini terpaksa harus membayar mahal untuk melepaskan rasa kangen dengan istrinya. Lho? Ya, jika dia ingin melepas rindu, dia mengajak istrinya pulang ke rumah saudaranya. 
Nah, untuk ke rumah saudaranya itu, Mansur terpaksa harus menyediakan uang minimal Rp 20.000 untuk ongkos mobil pulang-pergi (PP). Uang sejumlah itu, bukanlah nominal yang kecil bagi Mansur, yang tidak tahu harus bekerja apa selama di kamp pengungsian. 
Namun, Mansur mau bekerja apa saja, supaya bisa melepaskan kangen suatu waktu bersama istrinya tercinta. ''Ya, saya bekerja apa saja, agar bisa pulang ke rumah saudara,'' kata Mansur, serius. Lain lagi dengan pengakuan Irma, sebut saja begitu namanya. 
Di kamp pengungsian Samudera Geudong ini, Irma tergolong pengantin baru. Enam bulan lalu, dia melangsungkan pernikahan dengan pria idamannya. Menurut Irma, dia menikmati bulan madunya di pengungsian. ''Terkadang ada enaknya juga berbulan madu di kamp pengungsian,'' kata Irma, tersenyum.
Pengungsi di RSU Cut Meutia termasuk yang beruntung dalam urusan yang satu ini. Para pengungsi dari Desa Kuala Meuraksa dan Jamboe Masjid ini, tidur di tenda-tenda bantuan ICRC (Palang Merah Internasiona) yang berukuran kecil. Tenda itu, diberikan per kepala keluarga. 
Salah seorang pengungsi di RSU Cut Meutia, Hamzah, mengaku tidak merasa kesulitan dalam memberikan nafkah bathin kepada istrinya. ''Antara kamp yang satu dengan lainnya, terpisah-pisah,'' kata Hamzah, sambil tersenyum sumringah. Sebelumnya, di kamp pengungsian Kaway XVI, Aceh Barat, panitia pengungsi pernah berpikir untuk menyediakan bilik ''nyelam'' ini. 
Munurut Faisal Rizal, komandan kompi yang menjaga posko pengungsi di Peureumeu, Kaway XVI, pihaknya sudah pernah menawarkan sebuah tempat isolasi kepada para pengungsi. Namun, katanya, para pengungsi terkesan malu-malu. Ilyas tentu merindukan apa yang didapat Hamzah dan pengungsi lain di RSU Cut Meutia.
''Jadi, maunya ada tempat untuk yang satu ''ini''. Tapi, malu juga, ya,'' ujarnya. ''Walaupun bahan makanan berkecukupan, terasa belum lengkap, jika belum tersalurkan yang satu ini,'' tambah Ilyas sambil tertawa lepas, yang disambut tawa lepas beberapa pria lainnya. ? Misrie

Unknown


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Popular Post