Reporter: Misrie – Aceh Utara, 2005-01-08 11:37:25
Mentari sudah condong ke barat, takkala seorang kakek tua dengan sepeda Casile tua dikayuh secara perlahan. Tujuannya; kamp pengungsian Buket Rata, Lhokseumawe. Di kiri dan kanan bagian belakang tempat duduk sepedanya, terikat dua buah bungkusan.
Celana hitam sebatas lutut, sedikit nampak di antara kain sarung yang disandang di pinggangnya. Tentu saja kulitnya sudah berkerut dan giginya tinggal beberapa lagi. Pun begitu ia masih bisa mengumbar senyum dan terlihat kuat.
Beberapa warga sedang menimbang barang bekas untuk dijual kepada agen pengumpul. Ada saja cara orang mencari rezeki pasca-gempa. Agen pengumpul itu cukup bermodalkan sebuah truk Dyna berwarna warna hijau yang setia menunggu di pinggir jalan.
Kakek itu bernama Yunus (73), yang sudah puluhan tahun menetap di Desa Jamboe Mesjid, Kemukiman Meuraksa, Kota Lhokseumawe. Hidupnya sederhana dan hanya memiliki satu rumah semi permanen berdinding papan.
Desa yang ditempatinya merupakan daerah pesisir dan hampir semua warga di sana berprofesi sebagai nelayan, begitu juga dengannya. Selain Jamboe Mesjid, Kemukiman Meuraksa juga terdiri dari beberapa desa seperti Kuala, Jamboe Timu, Kuala Jambo Timu, Blang Cut, Balao dan Desa Blang Teu.
Ombak pasang tsunami pada Minggu (26/12) lalu memang telah merenggut keceriaan desa pesisir itu. Rumah Kek Yunus sendiri dibawa air bah bersama rumah penduduk lain yang kini rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah sebuah masjid yang dibangun atas sumbangan warga beberapa desa. Seperti banyak cerita di seantero Aceh, masjid itu masih berdiri kokoh walau pagarnya ikut rebah.
Di sepanjang pesisir Lhok Nga, Aceh Besar sejumlah masjid juga terlihat masih “mentereng” kendati lingkungan di sekitarnya tinggal menyisakan puing. Entah mengapa.
Siang itu, Kamis (7/1), beberapa anak usia sekolah sedang menyisir reruntuhan dan tumpukan kayu rumah yang dibawa ombak. Mereka sedang mencari plastik bekas, untuk dijual kepada sang pengumpul yang membawa truk hijau itu. Mereka memang warga setempat, tetapi mereka tidak lagi mempunyai rumah dan kini tinggal di pengungsian Buket Rata.
“Kalau tidak ada sekolah pulang ke kampung, dan mencari ini (barang bekas) untuk jajan sekolah,” ujar Fadli yang mengaku kelas II SMP.
Bukan saja anak-anak itu yang sibuk membongkar tumpukan reruntuhan, tetapi juga lelaki dewasa, dengan pakaian ala kadar. Salah seorang di antaranya, sebut saja Rusli. Menurutnya, tak ada pilihan lain untuk mencari jajanan anak-anaknya kecuali mengumpulkan plastik dan aluminium bekas untuk dijual.
“Karena untuk sekarang kami belum berani ke laut,” ujar nelayan itu dalam bahasa Aceh.
Katanya, saat tsunami datang ia sedang berada di laut, tepatnya di kawasan PT Arun. Dia juga mengisahkan, saat gempa terjadi beberapa boat nelayan merapat satu sama lain dan saat itulah Rusli mengaku mulai terbayang nasib keluarganya. Namun usahanya untuk kembali dihambat beberapa awak boat lainnya yang sedang meluncur dari daratan.
“Nggak usah kamu pulang. Air sudah naik ke darat, cepat ke arah tengah,” teriak seorang nelayan sebagaimana ditirukannnya.
Sebagaimana banyak dikisahkan sebelumnya, mereka yang saat itu berada di tengah laut, justru banyak yang selamat. Sebab kondisi gelombang di laut, kendati membesar, namun tidak mematikan sebagaimana yang terjadi di daratan. (baca: Kesaksian Para Nelayan [1])
Tapi Rusli yang sudah kadung kalut, nekat kembali. Dan apa yang terjadi, perkampungannya sudah rata dengan tanah. Perahu yang dulunya diparkir di pinggir pantai, kini dengan bebas menyusuri pohon kelapa dan bertengger sekitar 150 meter dari rumahnya yang sudah menjadi puing.
Lalu di mana Kek Yunus saat kejadian itu?
Biasanya, setiap subuh, lelaki tua itu sudah ke laut untuk menjaring ikan dan udang. Namun pada hari Minggu itu ia tidak pergi dan memilih di rumah saja. Tapi karena tak ada aktivitas lain, ia pun mengumpulkan kelapa yang sudah berjatuhan untuk dibelah.
Tapi tak lama berselang, terdengar suara gemuruh air di telinganya. “Saya sempat berteriak kepada cucu dan anak untuk lari, tapi ternyata ketika dilihat mereka sudah duluan lari,” tuturnya. Melihat itu, dia pun kontan angkat kaki.
Dengan sisa tenaga yang ada, lelaki tua itu berupaya menyelamatkan diri dengan menyusuri areal pertambakan untuk mencapai desa lainnya yang berjarak kurang dari 500 meter. Namun karena kecepatan air yang disebut-sebut mencapai seratusan kilometer per jam itu, maka tubuh tua itu tersambar dan Kek Yunus pun sempat tenggelam, ditelan air bah.
Tapi tubuh tua itu tidak menyerah. Ia tetap berusaha menyelamatkan diri dengan berenang dan menemukan selembar papan yang membuatnya sedikit mengapung di tengah air yang terus meninggi, pekat dan berlumpur itu. Ia terus berusaha mencari tempat yang lebih tinggi. Namun dalam perjalanan antara hidup dan mati itu, Kek Yunus melihat beberapa wanita melambaikan tangan meminta pertolongannya.
Tidak ada pilihan lain bagi lelaki uzur usia 73 tahun itu selain melempar papan yang ada di tangannnya untuk perempuan itu. Belum selesai, kemudian matanya yang sudah sedikit rabun kembali melihat beberapa orang yang sedang terncam maut ditelan air. Sosok itu hanya terlihat rambut dan sesekali tangannya yang berusaha menggapai-gapai udara.
Kek Yunus tak bisa berpikir lagi. Satu balok ukuran kecil melintas di depannnya, yang kemudian disambar dan disodorkan ke tangan tersebut untuk diraih.
Begitulah, lelaki itu terus bergulat di menit-menit yang mamatikan itu, hingga menurutnya, ada sembilan orang yang telah dia selamatkan.
“Kalau tidak salah, sembilan orang saya kasih kayu dan selamat waktu itu. Saya tidak rela untuk tidak mempedulikannya, karena badan saya terasa kuat waktu itu,” ujar Kek Yunus kepada acehkita.
“Memang ini benar-benar cobaan,” tambahnya lagi sembari merenggut stang sepedanya, melanjutkan perjalanan kembali kamp pengungsiaan, Buket Rata. [A/dan]