Andil
besar Jusuf Kalla dalam perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh tak
otomatis berimbas pada dukungan. Kendala mesin politik dan logistik.
Kepala sekretariat tim pemenangan calon presiden Jusuf Kalla dan calon wakil presiden Wiranto Sulawesi Tengah, M. Iqbal Andi Maga, sering uring-uringan. Usai pencontrengan, Rabu pekan lalu, Iqbal tak mau lagi menonton televisi.
Kepala sekretariat tim pemenangan calon presiden Jusuf Kalla dan calon wakil presiden Wiranto Sulawesi Tengah, M. Iqbal Andi Maga, sering uring-uringan. Usai pencontrengan, Rabu pekan lalu, Iqbal tak mau lagi menonton televisi.
Ia
mengaku, setiap kali menyalakan televisi yang dilihatnya perolehan
suara JK-Wiranto yang jeblok, tensi darahnya langsung naik. ”Ini di luar
perkiraan. Sungguh mati!” kata Iqbal kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Seluruh tim pemenangan JK-Wiranto di Sulawesi Tengah pun, menurut Iqbal, masih tak percaya JK kalah. Sulawesi Tengah sudah seperti kampung sendiri bagi JK. Apalagi ia berjasa besar bagi rakyat di sana karena perannya meredam konflik SARA di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun silam.
Seluruh tim pemenangan JK-Wiranto di Sulawesi Tengah pun, menurut Iqbal, masih tak percaya JK kalah. Sulawesi Tengah sudah seperti kampung sendiri bagi JK. Apalagi ia berjasa besar bagi rakyat di sana karena perannya meredam konflik SARA di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa tahun silam.
Tim
pemenangan, kata Iqbal, bahkan menargetkan 60 persen dari 1,7 pemilih
di Sulawesi Tengah bakal mencontreng JK-Wiranto. Tak hanya Sulawesi
Selatan, JK-Wiranto memang menggarap Sulawesi Tengah, Maluku, dan
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai lumbung suara di pemilu presiden.
Dukungan di tiga daerah itu mestinya besar karena, ”JK punya andil besar dalam proses perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh,” kata wakil ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahrul Rozi. Hitungan tim sukses JK-Wiranto, di Poso dan Ambon bisa menang, sementara di Aceh berimbang dengan SBY. ”Di Aceh kita pun optimistis bisa 60 persen,” kata ketua tim pemenangan JK-Wiranto Fahmi Idris.
Dukungan di tiga daerah itu mestinya besar karena, ”JK punya andil besar dalam proses perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh,” kata wakil ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahrul Rozi. Hitungan tim sukses JK-Wiranto, di Poso dan Ambon bisa menang, sementara di Aceh berimbang dengan SBY. ”Di Aceh kita pun optimistis bisa 60 persen,” kata ketua tim pemenangan JK-Wiranto Fahmi Idris.
Tapi,
nyatanya, perolehan suara dalam pemilu presiden 8 Juli 2009 tak
menggembirakan.
Hitung cepat Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial, misalnya, menyatakan JK-Wiranto kemungkinan hanya beroleh 34,08
di Sulawesi Tengah, 17,99 persen di Maluku, dan 4,46 persen di Aceh.
Sementara SBY-Boediono 57,45 persen di Sulawesi Tengah, dan 63,72 persen di Maluku, dan 90,97 persen di Aceh. Iqbal mengakui, terbuai tren popularitas dan elektabilitas JK yang terus menanjak, timnya jadi terlalu percaya diri jagoan mereka bakal lolos ke putaran kedua.
Akibatnya, tim sukses tak ngotot bekerja di Sulawesi Tengah. Dana pun tak banyak digelontorkan. ”Asumsinya, (logistik) dihemat untuk kampanye putaran kedua nanti,” kata Iqbal.
Blunder kedua, kata Iqbal, adalah reaksi berlebih masyarakat Sulawesi Selatan menanggapi isu SARA yang dilontarkan Ketua Partai Demokrat Andi Mallarangeng. Reaksi itu justru kontraproduktif. Akibatnya—serasa menguak luka lama bagi rakyat Poso—ketika isu Bugis-isme itu mengental, semua jadi buyar.
Sedangkan di pihak SBY-Boediono, tim suksesnya bekerja all out. Bagi mereka, Poso harus direbut dari JK. Sekretaris tim pemenangan SBY-Boediono Sulawesi Tengah, Henry Kawulur, mengatakan timnya gencar menyuarakan perdamaian Poso adalah kerja tim di bawah SBY sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu.
Sementara SBY-Boediono 57,45 persen di Sulawesi Tengah, dan 63,72 persen di Maluku, dan 90,97 persen di Aceh. Iqbal mengakui, terbuai tren popularitas dan elektabilitas JK yang terus menanjak, timnya jadi terlalu percaya diri jagoan mereka bakal lolos ke putaran kedua.
Akibatnya, tim sukses tak ngotot bekerja di Sulawesi Tengah. Dana pun tak banyak digelontorkan. ”Asumsinya, (logistik) dihemat untuk kampanye putaran kedua nanti,” kata Iqbal.
Blunder kedua, kata Iqbal, adalah reaksi berlebih masyarakat Sulawesi Selatan menanggapi isu SARA yang dilontarkan Ketua Partai Demokrat Andi Mallarangeng. Reaksi itu justru kontraproduktif. Akibatnya—serasa menguak luka lama bagi rakyat Poso—ketika isu Bugis-isme itu mengental, semua jadi buyar.
Sedangkan di pihak SBY-Boediono, tim suksesnya bekerja all out. Bagi mereka, Poso harus direbut dari JK. Sekretaris tim pemenangan SBY-Boediono Sulawesi Tengah, Henry Kawulur, mengatakan timnya gencar menyuarakan perdamaian Poso adalah kerja tim di bawah SBY sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat itu.
”Terbukti
pemilih makin cerdas, tak mau terjebak secara emosional,” ujarnya.
Di Maluku, SBY-Boediono juga tak tertandingi. Menurut ketua tim sukses
SBY-Boediono Maluku, Elwen Roy Pattiasina, timnya telah mengkampanyekan
SBY for President sejak pemilu legislatif. Sejumlah bupati di provinsi
seribu pulau ini pun terlibat langsung dalam tim SBY-Boediono.
Tak lupa dalam mendongkrak dukungan tim sukses juga menjual isu perdamaian. ”Terbukti, selama lima tahun pemerintahan (dipimpin SBY), Maluku betul-betul kondusif,” kata Elwen. Sedangkan Jusuf Kalla, yang besar perannya mendamaikan konflik di Ambon, tak kebagian banyak. JK kalah start, dan mesin politiknya pun tak mampu mengimbangi lawan.
Tak lupa dalam mendongkrak dukungan tim sukses juga menjual isu perdamaian. ”Terbukti, selama lima tahun pemerintahan (dipimpin SBY), Maluku betul-betul kondusif,” kata Elwen. Sedangkan Jusuf Kalla, yang besar perannya mendamaikan konflik di Ambon, tak kebagian banyak. JK kalah start, dan mesin politiknya pun tak mampu mengimbangi lawan.
Aceh
lebih mengagetkan lagi. Prediksinya, JK dan SBY—dwitunggal yang
dianggap berjasa bagi perdamaian Aceh—bakal berbagi suara. Ternyata,
hasilnya begitu jomplang. Perhitungan Komisi Independen Pemilihan Aceh,
per Jumat pekan lalu, SBY-Boediono beroleh 93,02 persen dan hanya
menyisakan 4,55 persen untuk JK-Wiranto.
Koordinator wilayah Aceh tim pemenangan SBY-Boediono, Ahmad Farhan
Hamid, pun mengaku tak habis pikir. ”Saya juga terkejut bisa sampai 90
persen, perkiraannya paling 70-80 persen,” kata Farhan.
Menurut dia, penetrasi tim JK-Wiranto sangat kuat. Apalagi JK secara khusus berkampanye di Aceh dan bertandang ke markas Partai Aceh, sementara SBY tidak. Namun, kata Farhan, timnya berhasil membalikkan arus dukungan JK kembali kepada SBY. ”Ada pendekatan kepada elite Aceh, terutama eks Gerakan Aceh Merdeka, pada satu-dua hari menjelang pencontrengan,” kata Farhan.
Menurut dia, penetrasi tim JK-Wiranto sangat kuat. Apalagi JK secara khusus berkampanye di Aceh dan bertandang ke markas Partai Aceh, sementara SBY tidak. Namun, kata Farhan, timnya berhasil membalikkan arus dukungan JK kembali kepada SBY. ”Ada pendekatan kepada elite Aceh, terutama eks Gerakan Aceh Merdeka, pada satu-dua hari menjelang pencontrengan,” kata Farhan.
Ia
menilai orang Aceh melek politik sehingga mereka memilih SBY-Boediono,
yang peluang menangnya lebih besar. ”Mereka ingin menunjukkan kontribusi
(ke SBY),” kata dia.
Kegagalan JK-Wiranto karena gagal memegang komitmen dukungan riil Partai
Aceh partai lokal yang ”berkuasa”.
”Di Aceh itu, siapa yang memegang Partai Aceh, dialah yang bakal menang,” kata Fahrul Rozi. Ia menduga peta pemilu presiden tak berbeda dengan pemilu legislatif. Di pemilu legislatif, Partai Aceh dengan Demokrat bekerja sama supaya menang dalam pemilu. Di tingkat lokal mereka berkampanye untuk memenangkan Partai Aceh, sementara tingkat nasional untuk Partai Demokrat.
Hasilnya, untuk DPR Aceh mayoritas dikuasai Partai Aceh, sementara DPR pusat mayoritas untuk Demokrat. ”Sekarang mereka bersama memenangkan (SBY-Boediono),” kata dia. Ketua Partai Demokrat Aceh yang juga ketua tim kampanye daerah SBY-Boediono, Nova Iriansyah, mengakui peran Partai Aceh. Hampir semua kader Partai Aceh di tiap kabupaten/kota bekerja untuk SBY-Boediono. ”Tapi itu personal, bukan kelembagaan partai,” kata Nova.
”Di Aceh itu, siapa yang memegang Partai Aceh, dialah yang bakal menang,” kata Fahrul Rozi. Ia menduga peta pemilu presiden tak berbeda dengan pemilu legislatif. Di pemilu legislatif, Partai Aceh dengan Demokrat bekerja sama supaya menang dalam pemilu. Di tingkat lokal mereka berkampanye untuk memenangkan Partai Aceh, sementara tingkat nasional untuk Partai Demokrat.
Hasilnya, untuk DPR Aceh mayoritas dikuasai Partai Aceh, sementara DPR pusat mayoritas untuk Demokrat. ”Sekarang mereka bersama memenangkan (SBY-Boediono),” kata dia. Ketua Partai Demokrat Aceh yang juga ketua tim kampanye daerah SBY-Boediono, Nova Iriansyah, mengakui peran Partai Aceh. Hampir semua kader Partai Aceh di tiap kabupaten/kota bekerja untuk SBY-Boediono. ”Tapi itu personal, bukan kelembagaan partai,” kata Nova.
Semua
lini dikuasai SBY-Boediono. Tak cuma Partai Aceh, Partai SIRA, Partai
Bersatu Atjeh, Partai Aceh Aman Sejahtera, dan Partai Daulat Atjeh juga
merapat. Bahkan Gubernur Irwandi Yusuf dan wakilnya, M. Nazar, terlibat
sebagai dewan pakar tim SBY-Boediono di Aceh. Belum lagi 19 partai
nasional yang tergabung dalam koalisi.
Juru bicara Partai Aceh, Adnan Beuransyah, mengatakan partainya
netral.
”Tidak etis mendukung salah satu,” kata Adnan. Alasannya, partai serba salah mau memilih SBY ataukah JK, yang sama-sama berjasa dalam perdamaian Aceh. Tak ada instruksi partai meski di lapangan banyak kader gabung dengan SBY-Boediono.
Ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahmi Idris, mengatakan salah satu penggerus dukungan JK-Wiranto di Poso, Ambon, dan Aceh adalah tak optimalnya mesin partai dan keterbatasan logistik. ”Apalagi rival menggunakan taktik 'menikam jejak' (SBY-Boediono menyusuri track kampanye JK-Wiranto untuk merebut pemilih),” kata Fahmi.
Menurut dia, ”menikam jejak” adalah taktik biasa dalam politik, sayangnya pihaknya kalah bekal. ”Kalau dana kita besar, kan kita bisa menyusur balik ke sana (untuk merebut kembali),” kata Fahmi. Selain itu, ia menduga banyak terjadi kecurangan.
”Tidak etis mendukung salah satu,” kata Adnan. Alasannya, partai serba salah mau memilih SBY ataukah JK, yang sama-sama berjasa dalam perdamaian Aceh. Tak ada instruksi partai meski di lapangan banyak kader gabung dengan SBY-Boediono.
Ketua tim pemenangan JK-Wiranto, Fahmi Idris, mengatakan salah satu penggerus dukungan JK-Wiranto di Poso, Ambon, dan Aceh adalah tak optimalnya mesin partai dan keterbatasan logistik. ”Apalagi rival menggunakan taktik 'menikam jejak' (SBY-Boediono menyusuri track kampanye JK-Wiranto untuk merebut pemilih),” kata Fahmi.
Menurut dia, ”menikam jejak” adalah taktik biasa dalam politik, sayangnya pihaknya kalah bekal. ”Kalau dana kita besar, kan kita bisa menyusur balik ke sana (untuk merebut kembali),” kata Fahmi. Selain itu, ia menduga banyak terjadi kecurangan.
Ipang
Wahid, konsultan politik yang menggarap advertasi JK-Wiranto, mengaku
sulit menyampaikan keunggulan JK sampai ke masyarakat bawah dalam waktu
singkat. ”Pak JK luar biasa tapi memang orang masih lebih suka yang
presidential look,” kata Ipang.
Agus Supriyanto (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhok Seumawe), Darlis Muhammad (Poso), Mochtar Touwe (Ambon)
Agus Supriyanto (Jakarta), Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhok Seumawe), Darlis Muhammad (Poso), Mochtar Touwe (Ambon)