Facebook Twitter Google RSS

Friday, 14 September 2007

Mengambil Ranting, Bukan Dahannya

Unknown     03:39  

Mengambil Ranting, Bukan Dahannya Majalah TEMPO Edisi. 18/XXXIV/27 Juni - 03 Juli 2005 Rubrik : Hukum- Mengambil Ranting, Bukan Dahannya 
Untuk pertama kalinya hukuman cambuk dilaksanakan di Aceh. Jaksa menerima duit. DARI pengeras suara di lapangan Masjid Agung Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, terdengar suara: "Kita panggilkan terpidana Zakaria bin Yusuf.…" Selang sejenak, tampillah sesosok pria bertubuh ceking, dibalut jubah putih tipis, naik perlahan ke podium berukuran sekitar 36 meter persegi. Ratusan penonton lelaki-perempuan—anak-anak juga—siap menyaksikan "pertunjukan" tidak biasa, Jumat siang pekan lalu itu. 
Zakaria, pria 60 tahun itu, berdiri di podium dengan wajah terkulai. Bersama 14 lelaki lain, usai salat Jumat hari itu, ayah lima anak ini akan menerima hukuman yang baru akan diperkenalkan di negeri ini: dicambuk di depan umum.

 Seorang pria berjubah hijau naik ke panggung. Sekujur kepalanya, kecuali mata, ditutup kain hijau juga. Beliaulah "algojo" yang akan mendera Zakaria. Akhir Mei lalu, Zakaria divonis Mahkamah Syar'iyah Bireuen—sekitar 
 kilometer dari Banda Aceh—hukuman enam kali cambukan. Ia dinyatakan melanggar Qanun (peraturan daerah) No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (judi). Itulah pertama kalinya pengadilan di Aceh menjatuhkan hukuman cambuk bagi kaum muslim yang melanggar hukum syariah setelah provinsi itu resmi menjalankan syariat Islam pada Maret 2003. 
Zakaria ditangkap ketika bermain poker (judi kartu) di Desa Pulo Kiton, Bireuen, akhir Februari lalu. Menurut pengakuannya, lantaran tak ada pekerjaan, bersama enam rekannya sesama buruh bongkar-muat mereka bermain poker, menggelar lapak di sebuah kebun kosong. "Modalnya Rp 4.500, untuk hiburan saja," kata Zakaria. 
Ketika mereka lagi asyik-asyiknya membanting kartu, serombongan polisi datang menyergap. Para pejudi kecil-kecilan itu tak sempat kabur. Mereka pun diangkut bersama barang bukti, antara lain uang kertas dan recehan sejumlah Rp 45 ribu. Begitu ceritanya. 
Kini, di atas panggung itu, usai pembacaan kesalahan dan hukuman Zakaria, seorang jaksa menyerahkan cambuk kepada algojo, yang tak lain anggota wilayatul hisbah—alias polisi syariah. Terdengar aba-aba dari pengeras suara, "Satu.…" Dan berbarengan dengan itu, sang algojo melecutkan cambuknya ke punggung Zakaria. 
Cambuk yang dipakai berwujud rotan sepanjang satu meter dengan diameter sekitar 0,75 sentimeter, seukuran jari tangan. Setiap kali batang rotan itu mendarat di punggung Zakaria, warga Desa Pulo Kiton, Bireuen, itu meringis. Dan setiap kali algojo melecutkan rotannya—dengan ayunan tak lebih dari setinggi lengan—terdengar teriakan tertahan sejumlah penonton, terutama di sekitar "ring side". 
Eksekusi itu berlangsung cepat, tak sampai semenit. Begitu eksekusi usai, Zakaria membungkuk dan sejurus kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak ada luka berarti di tubuhnya selain tanda guratan merah seperti bekas kerokan. 
Menurut Peraturan Gubernur Aceh No. 10/2005, hukuman cambuk memang tak boleh melukai si terhukum. Algojo yang menjalankan eksekusi juga dilarang memukul anggota vital seperti kepala, kemaluan, dada, dan leher. Ketika eksekusi, satu tim dokter disiagakan untuk memberi pertolongan jika ada yang terluka. 
Begitu turun dari podium, Zakaria disambut pelukan Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Azwar Abubakar, dan Bupati Bireuen, Mustafa Geulanggang. Mustafa menyerahkan sebuah bingkisan, antara lain berisi sajadah dan Al-Quran, kepada Zakaria. Cemoohan penonton terdengar keras ketika Zakaria meninggalkan lapangan dan "digiring" petugas ke belakang Masjid Bireuen. 
Setelah Zakaria, giliran 14 terhukum lain mendapat hukuman serupa. Mereka berasal dari tiga kecamatan: Gandapura, Peusangan, dan Jeumpa. Seperti Zakaria, mereka divonis Pengadilan Syariah Bireuen hukuman cambuk enam sampai delapan pukulan. 
Siang itu sebenarnya ada 26 terhukum yang akan "dilecut". Namun, 11 di antaranya dibatalkan atas permintaan dokter. Kondisi tubuh mereka dianggap tidak cukup sehat untuk menerima hukuman. Peraturan memang mengizinkan hal ini: mereka yang tak sehat bisa meminta penundaan hukumannya. 
Sempat juga terjadi beberapa insiden ketika eksekusi dilakukan. Rusli bin Bransah, warga Bireuen yang dicambuk lantaran tertangkap saat membeli togel, dilarikan ke rumah sakit begitu selesai dicambuk. "Dia mengaku pusing dan matanya berkunang-kunang," ujar seorang dokter yang memeriksa Rusli. 
Seorang terhukum lainnya, Ridwan, bahkan sempat membuat terkejut se-jumlah pejabat yang mengikuti prosesi hukuman itu. Usai mendapat ganjaran enam cambuk, dengan wajah memerah Rid-wan menghampiri jaksa Erwin Nasution, yang berdiri di sudut podium. Tangannya menunjuk-nunjuk Erwin. Polisi Syariah langsung menyambar pria yang dihukum lantaran tertangkap tangan bermain judi itu dan menyeretnya turun dari podium. 
Ridwan rupanya kesal. Pria ini mengaku sudah menyerahkan uang Rp 800 ribu kepada Erwin dengan imbalan jaksa itu akan melepasnya. Transaksi kecil-kecilan ini terjadi ketika ia mendekam di tahanan Bireuen, sekitar sebulan lalu. Menurut Ridwan, ketika itu jaksa Erwin berjanji membebaskan mereka asal menyetorkan sejumlah uang. 
Bersama enam rekannya, Ridwan setuju dan mereka pun masing-masing menyetor uang Rp 800 ribu untuk Erwin. Setelah setoran diberikan, mereka memang kemudian mendapat status tahanan luar. Tapi, hukuman cambuk ternyata jalan terus. 
Jaksa Erwin sendiri mengaku menerima uang dari para pejudi dan penggemar togel itu. Jumlahnya, katanya, Rp 3 juta. "Itu hanya uang terima kasih, tidak terkait keputusan perkara," katanya. Tapi, menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Soehandojo, ulah Ridwan ini merupakan bentuk pelanggaran tugas seorang jaksa. "Jaksa tidak mengenal uang terima kasih," katanya. 

Kejaksaan Tinggi Aceh, kata Soehandojo, harus mengusut kasus "duit terima kasih" ini. Ridwan mengatakan ia mengeluarkan uang dengan tujuan tak dicambuk di depan umum. "Bukan jumlah cambukannya, tapi malunya ini yang tak tahan," katanya. "Apalagi ini yang pertama kali di Aceh. Pasti orang datang seperti menonton sirkus." 
Perasaan yang sama juga diungkapkan Zakaria. "Saya malu ditonton orang, anak-cucu dan kerabat, karena ini kejadian yang pertama di Aceh, bahkan di Indonesia," ujarnya. Zakaria juga mempertanyakan hukuman cambuk yang hanya ditimpakan kepada rakyat kecil. "Pejabat yang korupsi tidak tersentuh hukuman ini," ujarnya. 
Kepala Dinas Syariat Islam, Alyasa Abu Bakar, menegaskan hukuman cambuk dilakukan memang bukan untuk menyakiti si terhukum, melainkan lebih untuk membuat malu. "Agar dia tidak mengulangi perbuatannya, sekaligus memberi efek jera bagi masyarakat lain," kata Alyasa. Ketua Komisi Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Daniel Djuned, menegaskan hukum cambuk itu sudah sesuai dengan hukum hudud (hukum pidana Islam). "Hukuman itu sah karena sesuai dengan qanun yang telah dibahas para ulama Aceh," kata guru besar IAIN Ar-Raniry Banda Aceh itu. 
Tapi tak semua sependapat dengan Daniel. Wakil Ketua Komisi E Bidang Syariat Islam DPRD Aceh, Teungku Amir Hamzah, menilai hukuman cambuk bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut dia, hukum cambuk hanya sebagian kecil hukum Islam. Padahal, hukum hudud masih punya tiga bagian: qisash bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dan hukum rajam bagi penzina. "Yang diambil sekarang justru rantingnya, sedangkan cabangnya tak ada. Ini sama dengan mempermainkan hukum Tuhan," ujarnya. 
Menurut Amir, Pemda Aceh dan Pemda Bireuen hanya mengambil sebagian hukum pidana Islam. "Yang tidak penting diambil, yang penting tidak dilaksanakan," katanya. Jika hendak menjalankan syariat Islam, ujar Amir, pemerintah seharusnya juga membuat qanun tentang qisash, hukuman rajam, dan potong tangan. "Kalau tidak, pejudi dicambuk, tapi koruptor dan pembunuh bebas berkeliaran." 
Yuswardi A. Suud, Imran MA (Bireuen), Adi Warsidi (Banda Aceh)

Unknown


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Popular Post